Kisah Anak Batu
Penutur : Gusti Bujang
Mas
Di sebuah Kampung yang damai, hiduplah sepasang suami istri yang
sederhana. Keseharian mereka dipenuhi dengan kerja keras di kebun. Setelah dua
tahun pernikahan, lahirlah anak laki-laki pertama mereka yang diberi nama Ujang. Dengan penuh kasih sayang,
sang ibu merawat Ujang, sementara sang ayah terus giat berkebun untuk memenuhi
kebutuhan keluarga.
Setahun kemudian, kebahagiaan mereka bertambah dengan kehadiran
anak kedua, seorang perempuan yang diberi nama Ayu.
Pasangan ini merasa lengkap, memiliki sepasang anak laki-laki dan perempuan,
yang membuat sang ayah semakin bersemangat bekerja keras demi masa depan
anak-anaknya.
Waktu berlalu, keluarga kecil itu terus bertambah. Ketika Ayu
berusia dua tahun, lahirlah anak ketiga, seorang laki-laki yang diberi nama Amat. Semangat kedua orang tua tidak
pernah pudar. Mereka terus bahu-membahu bekerja hingga rezeki mereka melimpah.
Tak lama setelah itu, lahirlah anak keempat, seorang perempuan yang diberi nama
Nur. Kehadiran Nur membawa
keberuntungan besar, membuat keluarga mereka menjadi yang terkaya di Kampung.
Keluarga ini semakin lengkap dengan kelahiran anak kelima, seorang perempuan
yang diberi nama Unsu.
Meski
hidup dalam kemewahan, kedua orang tua ini tak pernah lalai mendidik kelima
anak mereka dengan ilmu pengetahuan dan budi pekerti yang luhur. Tahun demi
tahun berlalu, sang ayah dan ibu pun menua. Kelima anak mereka tumbuh dewasa
dan satu per satu mulai membangun keluarga sendiri. Mereka hidup mandiri di
rumah masing-masing, kecuali Ujang, anak pertama, yang masih tinggal bersama
kedua orang tuanya.
Suatu
hari, sang ayah jatuh sakit. Merasa ajalnya sudah dekat, ia memanggil kelima
anaknya. Setelah semua berkumpul, sang ayah berkata, "Anak-anakku, Bapak
sudah tidak kuat lagi. Hari ini Bapak akan membagi harta yang kita miliki, agar
kelak kalian tidak saling berebut."
Dengan
penuh kehati-hatian dan sikap adil, sang ayah membagi semua harta kebun dan
ladangnya kepada kelima anaknya. Karena anak-anaknya yang lain sudah memiliki
rumah, rumah yang mereka tempati diberikan kepada Ujang. Sang ayah juga
berpesan, "Semua harta sudah Bapak bagi. Hanya satu pesan Bapak, jika
Bapak sudah tiada, jangan lupakan ibu kalian. Jagalah dia, jangan kalian
telantarkan." Tak lama setelah itu, sang ayah pun meninggal dunia.
Sejak
saat itu, sang ibu yang sudah renta, penglihatannyapun rabun, pendengarannya
berkurang, dan jalannya sempoyongan, mulai merasakan perubahan. Anak-anaknya
yang dulu berbakti, kini satu per satu mulai melupakannya. Sang ibu menjadi
terlantar. Ia diusir dari rumah anak-anaknya dan terpaksa hidup di jalanan,
tidur di bawah pohon, tanpa arah dan tujuan.
Hati
sang ibu hancur. Ia mencoba mendatangi rumah anak-anaknya satu per satu,
berharap ada sedikit belas kasihan. Namun, alih-alih disambut, ia malah diusir
oleh menantu dan bahkan anak kandungnya sendiri.
Merasa putus asa, sang ibu berjalan tanpa arah. Ia duduk di
bawah pohon rindang, lelah, lapar, dan haus. Di tengah kesedihannya, ia
teringat bagaimana sifat anak-anaknya berubah drastis setelah harta dibagi.
Tiba-tiba, sebuah ide muncul di benaknya.
Ia
mengambil beberapa batu kerikil, membungkusnya dengan kain berlapis-lapis, dan
memasukkannya ke dalam sebuah kantong. Dengan harapan baru, ia melanjutkan
perjalanannya, memikul kantong berisi "harta rahasia" tersebut.
Ketika
melewati rumah salah satu anaknya, sang anak menyapa, "Ibu, apa yang Ibu
bawa itu?"
Dengan
suara lirih, sang ibu menjawab, "Ini satu-satunya harta peninggalan
bapakmu yang tidak sempat dibagikan. Barang ini akan menjadi milik siapa pun
yang merawat ibu sampai dikuburkan. Dan, harta ini hanya boleh dibuka setelah
ibu meninggal."
Berita
tentang "harta rahasia" ini menyebar dengan cepat di antara kelima
bersaudara. Seketika, mereka berebut untuk merawat sang ibu. Semua permintaan
sang ibu dipenuhi tanpa bantahan.
Seiring
berjalannya waktu, penyakit sang ibu semakin parah. Kelima anaknya bersepakat
untuk merawat sang ibu bersama-sama, dengan janji akan membagi harta itu secara
adil. Tak lama kemudian, sang ibu pun meninggal dunia. Setelah pemakaman
selesai, kelima bersaudara itu berkumpul untuk membuka bungkusan harta
peninggalan ibu mereka.
Dengan
penuh antusias, mereka membuka bungkusan itu bersama-sama. Betapa terkejutnya
mereka, di dalam bungkusan itu hanya ada lima buah batu kerikil. Mereka baru
menyadari, harta yang paling berharga yang ditinggalkan sang ibu bukanlah
materi, melainkan pelajaran tentang kasih sayang dan bakti yang telah mereka
sia-siakan.
******
Dari
cerita "Anak Batu" di atas, ada beberapa hikmah yang bisa kita petik
diantaranya:
·
Bakti kepada orang tua itu lebih berharga dari harta. Cerita ini
menunjukkan bahwa saat orang tua sudah tidak punya apa-apa lagi, anak-anak
cenderung melupakan mereka. Namun, kasih sayang dan pengorbanan orang tua tidak
bisa dinilai dengan uang. Harta bisa habis, tetapi pahala berbakti kepada orang
tua akan terus mengalir.
·
Harta bisa mengubah sifat manusia. Awalnya, kelima anak
itu berbakti, tetapi setelah harta dibagi, sifat mereka berubah menjadi serakah
dan egois. Mereka melupakan pesan ayah mereka untuk menjaga ibu, karena fokus
mereka sudah beralih pada kekayaan masing-masing.
0 Komentar