Hantu Rangkak dan Hantu Komang

 

Ilustrasi by Madi LSM

Masyarakat di wilayah Simpang, Kabupaten Kayong Utara, memiliki kekayaan tradisi lisan tentang makhluk-makhluk gaib yang mendiami alam mereka. Dua di antaranya yang cukup dikenal adalah Hantu Rangkak dan Kemang/Komang, yang masing-masing memiliki peran dan karakteristik unik dalam ekosistem kepercayaan lokal.

Hantu Rangkak: Pengganggu Panen Padi

Hantu Rangkak adalah mahluk ghaib yang dipercaya masyarakat Simpang suka mengganggu saat musim berladang, khususnya ketika padi sudah menguning dan siap dipanen. Keyakinan ini  berfungsi sebagai bentuk budaya untuk menjelaskan fenomena gagal panen atau berkurangnya hasil panen yang tidak dapat dijelaskan secara rasional pada masa lalu.

Dalam pertanian tradisional, padi adalah sumber kehidupan utama. Kerusakan atau kehilangan hasil panen dapat berakibat fatal bagi kelangsungan hidup masyarakat. Oleh karena itu, gambaran ancaman ini dalam wujud Hantu Rangkak mungkin bertujuan untuk Mengingatkan petani untuk lebih menjaga ladang mereka, terutama saat masa panen dan lain lain.

Kisah Hantu Rangkak mencerminkan hubungan erat antara manusia dan alam, serta upaya mereka untuk memahami dan mengelola risiko pertanian melalui sudut pandang kepercayaan tradisional.

Kemang/Komang: Penjaga Hutan dan Tanda Penghormatan Lahan

Sementara itu, Kemang atau Komang adalah makhluk gaib yang sangat erat kaitannya dengan penunggu hutan belantara. Dalam tradisi sebagian masyarakat Simpang, hantu Komang ini dipercaya sebagai penunggu wilayah tertentu. Ini sangat terlihat ketika masyarakat Simpang membuka lahan baru untuk berladang. Mereka akan selalu menyisakan sebuah tempat yang disebut "Rimba Komang/kumang". Rimba Komang ini diyakini sebagai bagian dari wilayah kekuasaan hantu Komang tersebut.

Konsep Kemang/Komang dan Rimba Komang memiliki makna yang lebih dalam yaitu :

  • Penanda Kedaulatan Alam: Kemang/Komang adalah representasi spiritual dari  hutan itu sendiri. Keberadaannya mengingatkan manusia bahwa hutan bukanlah sekadar sumber daya yang bisa dieksploitasi semena-mena, melainkan memiliki "pemilik".
  • Etika Lingkungan Tradisional: Praktik menyisakan "Rimba Komang" saat membuka lahan adalah bentuk kearifan lokal dan etika lingkungan. Ini menunjukkan penghormatan terhadap alam dan keyakinan bahwa ada batas-batas yang tidak boleh dilanggar dalam interaksi dengan hutan. Rimba Komang berfungsi sebagai:
  • Area konservasi alami: Secara tidak langsung menjaga sebagian kecil ekosistem hutan tetap utuh, mencegah deforestasi total.
  • Tanda "permisi" dan perjanjian: Menunjukkan bahwa pembukaan lahan dilakukan dengan "izin" dari penunggu gaib, meminimalkan potensi konflik spiritual.
  • Pembatas spiritual: Menjadi semacam "wilayah tabu" yang tidak boleh diganggu, menjaga keseimbangan antara wilayah yang dimanfaatkan manusia dan wilayah alami yang dijaga makhluk gaib.
  • Mekanisme Kontrol Sosial: Kepercayaan terhadap Kemang/Komang juga dapat berfungsi sebagai mekanisme kontrol sosial untuk mencegah eksploitasi hutan yang berlebihan atau tanpa perhitungan. Pelanggaran terhadap "Rimba Komang" mungkin dipercaya akan mendatangkan musibah atau gangguan dari makhluk tersebut.

Kedua cerita ini, Hantu Rangkak dan Kemang/Komang, menunjukkan betapa kayanya sistem kepercayaan masyarakat Simpang dalam memandang dan berinteraksi dengan alam sekitar mereka. Mitos-mitos ini tidak hanya berfungsi sebagai cerita pengantar tidur, tetapi juga sebagai pedoman hidup, penjelasan  fenomena alam, dan penegak etika tradisional.

 

 

Posting Komentar

0 Komentar