Wayang Kulit Simpang Matan: Jejak Majapahit, Kearifan Lokal, dan Harmoni Budaya di Tanah Kayong

 



Wayang Kulit Simpang Matan: Jejak Majapahit, Kearifan Lokal, dan Harmoni Budaya di Tanah Kayong

Oleh : Miftahul Huda

Wayang Kulit Simpang Matan adalah kesenian yang telah dikenal ratusan tahun silam di beberapa daerah di Matan, Simpang, dan Sukadana, Kabupaten Kayong Utara, Kalimantan Barat. Kesenian ini diduga kuat memiliki kaitan erat dengan masuknya putra Majapahit ke Tanjung Pura pertama kali pada abad ke-14, yaitu Prabu Jaya, yang kemudian menikah dengan Dayang Putung atau Putri Junjung Buih.

Saat ini, satu set lengkap Wayang Kulit Simpang masih tersimpan utuh dalam sebuah kotak oleh keturunan Dalang bernama Agus Puhun di Desa Batu Barat, Kecamatan Simpang Hilir, Kabupaten Kayong Utara. Beberapa wayang yang tidak utuh lagi juga tersebar di beberapa tempat seperti Sukadana.


Ciri Khas Fisik dan Musik Wayang Simpang

Secara fisik, Wayang Kulit Simpang Matan tampak berbeda dengan Wayang Kulit Jawa. Wayang Simpang berukuran lebih kecil dengan corak dan nama tokoh yang berbeda. Dari sisi musikal, Wayang Simpang juga memiliki keunikan. Tim pengiringnya lebih sedikit, hanya terdiri dari:

·         Dalang yang dibantu Pebayu (pembantu dalang)

·         Penabuh gendang

·         Pemain piul (biola)

·         Pemain rebab

·         Pemain kenong

·         Dua pemain tetawak (gong)


Silsilah Dalang dan Keunikan Bahasa

Menurut keterangan dari Agus Puhun, generasi keenam pemegang Wayang Simpang, silsilah dalang ini bermula dari Irapati, kemudian Niti Praja, Singa Nenggala, Datok Dute Nenggala. Selanjutnya, warisan dalang turun kepada anaknya, Dalang Wak Jage bergelar Irenenggala, lalu kepada Dalang Anis Kunang, Dalang Uning Imbang, Agus Itek, dan terakhir saat ini adalah Agus Puhun sendiri, menantu dari Agus Itek.

Agus Puhun menduga tradisi kesenian wayang di Simpang sudah ada sejak masa Kerajaan Matan, bahkan sebelum Dalang Datok Dute, meskipun ia tidak mengetahui nama dalang-dalang sebelumnya karena hanya berdasarkan ingatan saja.

Ada keunikan menarik saat memainkan Wayang Kulit Simpang: sang dalang, yang kesehariannya adalah orang Melayu dan tidak bisa berbahasa Jawa, tiba-tiba dapat berbicara dalam bahasa Jawa, bahkan Jawa kuno yang sulit dimengerti. Fenomena ini disebut oleh Agus Puhun sebagai "masuk Syeh," atau dalang tersebut dimasuki makhluk halus. Dalam kondisi ini, sang dalang tidak sadar akan apa yang ia lakukan, termasuk saat memainkan wayang dengan bahasa Jawa. Setelah sadar, ia kembali seperti biasa dan tidak bisa berbahasa Jawa.

Menurut Pesah, putri dari Dalang Agus Etek dan istri dari Agus Puhun, untuk menjadi seorang dalang, seseorang harus melalui ritual yang disebut "beramal." Ritual ini melibatkan puasa, memakan nasi putih tanpa lauk selama tujuh hari, menyendiri atau bertapa, dan lain-lain.


Jenis-Jenis Wayang Simpang

Berdasarkan penuturan narasumber, yaitu Pesah dan Haripin (95 tahun), pemain gendang Wayang Simpang yang masih hidup, jenis permainan Wayang Simpang dibagi berdasarkan peruntukannya:

1. Wayang Gedog

Menurut Haripin, Wayang Gedog tidak bisa sembarangan dimainkan oleh semua dalang karena nuansanya yang mistis. Dalang pemula belum bisa memainkannya. Wayang Gedog diperuntukkan khusus ritual adat, seperti dalam acara pernikahan, atau pada masa kerajaan sering digunakan dalam ritual kerajaan.

Tradisi permainan Wayang Gedog untuk ritual pernikahan disebut "Majang," yang dilakukan selama tiga hari tiga malam atau semalam suntuk, tergantung kemampuan pihak yang punya hajat. Penonton, terutama kedua mempelai, tidak boleh melewatkan pertunjukan Wayang Gedog hingga selesai. Dalang yang memainkan Wayang Gedog ini biasanya juga merupakan tetua adat atau dukun kampung setempat.

Di Jawa, Wayang Gedog lebih dikenal dengan nama Wayang Panji karena ceritanya diadaptasi dari Serat Panji. Konon, Wayang Gedog ini diciptakan oleh Girindrawardhana pada tahun 1485 Masehi di masa Kerajaan Majapahit.

Nama-nama tokoh Wayang Simpang yang masih diingat oleh Pesah dan Agus Puhun saat ini adalah Si Pateh, Denok, Turas, Panji, dan Kediri. Tokoh-tokoh lain sudah sulit diingat karena pertunjukan Wayang Simpang terakhir dimainkan sekitar tahun 1990-an.

2. Wayang Golek

Dalam tradisi Simpang, Wayang Golek adalah wayang untuk pertunjukan hiburan. Pertunjukan ini bisa diadakan untuk hajatan acara pernikahan, khitanan, atau lainnya.

Berbeda dengan Wayang Golek di Jawa yang berbentuk boneka kayu, Wayang Golek dalam tradisi Simpang memiliki fisik yang sama dengan Wayang Gedog, yaitu wayang kulit biasa. Perbedaannya terletak pada nama tokoh serta peruntukannya.

Di Jawa, Wayang Golek pertama kali diperkenalkan oleh Sunan Kudus untuk syiar Islam melalui budaya (dikenal sebagai Wayang Menak di Kudus, Wayang Cepak di Cirebon, dan Parahyangan). Diduga, perkembangan wayang generasi kedua setelah Wayang Gedog ini juga menyebar ke beberapa daerah dan turut memengaruhi perkembangan wayang di Simpang, yang semula hanya sarana ritual kini juga menjadi pertunjukan hiburan.


Sejarah dan Perkembangan Wayang Simpang

Diduga, pada masa kerajaan, kesenian wayang juga biasa dimainkan di dalam keraton, sebab persebaran wayang dari Jawa ke tanah Borneo berawal dari hubungan antar kerajaan. Melihat jenis wayang dan cara memainkannya, kemungkinan besar wayang tersebut sudah masuk ke tanah Borneo, khususnya Tanjung Pura, Sukadana, Matan, dan Simpang, sejak zaman Majapahit.

Dalam perkembangan berikutnya di masa Islam, yaitu Kerajaan Demak Bintoro dan Mataram yang juga masih berhubungan, Wayang di tanah Borneo, khususnya Simpang, memiliki warna yang berbeda. Dugaan lain tentang awal mula persebaran Wayang Simpang, selain dari hubungan politik antar kerajaan, juga melalui perdagangan serta pernikahan atau pembauran antara pendatang dengan masyarakat setempat. Kedua teori ini memiliki alasan kuat dan saling memengaruhi.

Berdasarkan catatan Von De Wall tahun 1862, wayang juga sering diperdagangkan dan masuk dalam daftar perdagangan di bandar Sukadana, Matan, dan Kerajaan Simpang pada masa itu.

Pada masa lalu, penonton Wayang Kulit di Kerajaan Simpang berada di belakang kelir (layar), sehingga yang ditonton adalah bayangan wayang tersebut. Ini berbeda dengan Wayang Kulit Jawa yang langsung ditonton dari atas panggung. Bayangan wayang diciptakan melalui pelita berbahan minyak bumi dari belakang kelir, yang dimainkan oleh dalang.

Pada masa perkembangannya, Wayang Kulit Simpang mengadaptasi cerita-cerita lokal. Namun, saat ini sulit melacak lakon atau cerita lokal yang pernah dibawakan karena dalang utamanya sudah tidak ada lagi. Yang tersisa hanyalah pemain gendang, Haripin (95 tahun), yang karena usianya sudah sangat tua, sulit mengingat semua kejadian di masa ia menjadi bagian dari tim wayang.

Meskipun pada mulanya penyajian Wayang Kulit Simpang mengikuti cerita dari daerah asalnya di Jawa, seiring waktu, ia beradaptasi dan menjadi seni pertunjukan khas. Perbedaan ini terlihat baik dari segi bentuk wayang, lagu gamelan pengiring, maupun cara memainkannya. Wayang Simpang akhirnya memiliki nilai dan karakter tersendiri.


Wayang Simpang Menurut Catatan P.J.P. Barth (1892)

Menurut catatan P.J.P. Barth yang datang ke Borneo pada tahun 1892, seni wayang sudah mulai tumbuh dan berkembang di Kerajaan Tanjung Pura era Sukadana, dan banyak dimiliki oleh "Orang Boekit."

Orang Boekit adalah penduduk khas dan unik dari populasi yang ada di Sukadana Tua era Tanjung Pura. Menurut Barth, mereka adalah campuran dari orang Melayu, Dayak, dan Jawa yang sudah beragama Islam. Umumnya, orang Boekit adalah petani dan pekebun. Dahulu mereka menetap di lereng Pegunungan Palongan (Gunung Palung), lalu kemudian bergeser ke wilayah Matan dan Simpang seperti Tjali (Cali), Bajangan (Bayangan), Djagan, dan Rempangi (Bayur Rempangi), Koman, Munggoe'-Djering (Mungguk Jering sekarang Matan) dan sekitarnya. Rata-rata dari tiap kelompok mereka memiliki wayang (P.J.P. Barth, 1892).

Pada masa perpindahan orang Boekit tersebut, wayang di Sukadana sudah tidak ada lagi, namun di Simpang dan Matan pada saat itu pertunjukan wayang masih sering dilakukan, tulis Barth.

Menurut Barth, sebelum permainan wayang dilakukan, ada beberapa ritual atau syarat tertentu yang harus dipenuhi. Di antaranya adalah membuat sesajen yang disebut "ancak" (terbuat dari anyaman bambu persegi berukuran sekitar 20 cm keliling, di atasnya ditempatkan berbagai sesaji). Setelah itu, ritual dilanjutkan dengan memercikkan air yang disebut "tepung tawar" ke beberapa tempat sekitar area permainan, yang diakhiri dengan memercikkan tepung tawar kepada para tamu serta wayang yang siap dimainkan.

Dalam proses persiapan ancak atau sesajen, lima ekor ayam disembelih lalu diolah, satu telur masak dan satu telur mentah diletakkan di sebelah ayam tersebut. Kemudian nasi rebus dicampur dengan sahang (lada) lalu dibungkus dengan daun pisang membentuk kerucut dengan warna berbeda-beda: putih, kuning, hijau, merah, dan hitam. Pewarnaan kuning nasi dibuat dengan kunyit, warna merah adalah kunyit yang ditambahkan kapur sirih, warna hijau dengan campuran daun cabai yang diolah, sedangkan warna hitam diolah dengan menambahkan jelaga.

Setiap kerucut tingginya sekitar satu desimeter. Dua dari setiap warna ditempatkan pada masing-masing ancak. Ayam yang sudah disiapkan dan dua telur di atasnya dibagikan secara merata. Selanjutnya ditambahkan tiga buah daun sirih, lima rokok daun, dan sepotong kemenyan.

Untuk setiap ancak, kemudian diolesi darah ayam pada keempat sudutnya. Saat ritual, lima ancak yang telah disiapkan ditahan sebentar di atas dupa. Tiga buah ancak kemudian diletakkan di luar sebagai persembahan, dan dua digantung di kedua sisi kelir (layar panggung wayang).

Sekilas penampilan Wayang Simpang mirip dengan permainan wayang Jawa, namun perbedaannya adalah penonton Wayang Simpang hanya menonton bayangan saja. Bayangan wayang diciptakan melalui pelita berbahan minyak bumi dari belakang kelir, dimainkan oleh dalang. Berbeda dengan wayang Jawa yang langsung dapat dilihat dan menghadap penonton.

Keprak (Jawa: keprok) dari Wayang Simpang terbuat dari kayu lipat, yang digantung di bagian luar peti wayang. Pada saat tertentu setelah dalang berkisah atau di sela-sela kisahnya, ia memukul keprak dengan kaki. Dari dalam kotak penyimpanan wayang, wayang tersebut dibungkus dengan tikar, terkadang juga digantung atau diletakkan pada rak.

Di antara semua tokoh wayang tersebut, ada enam yang biasa dimainkan oleh dalang, yang disebut sebagai "wayang agal." Sedangkan lainnya berjumlah delapan puluh buah tokoh.

Perbedaan nama tokoh antara wayang Jawa dengan Wayang Simpang meliputi tokoh Ratoe Tjandra Kirana, Nala, dan tokoh Semar pada Wayang Simpang disebut sebagai Denok, tokoh Gareng disebut Turas, kemudian ada Patih dari Raja Gelang, dan lain-lain.

Bahasa dalam pertunjukan Wayang Simpang pada masa itu adalah bahasa Jawa kuno yang sulit dikenal dan dimainkan tanpa sadar. Barth mengidentifikasi bahwa bahasa wayang tersebut tampaknya adalah bahasa Jawa kuno. Hanya beberapa kata dan ungkapan yang berhasil ditangkap dan dipahami, di antaranya: di paran, kakang ingsoen, kakang mas, di oendang mréné, déwa, réntjang 'ndika, Radja Brakmana, Koela noewoen sénapati, anak ingsoen, bëtjik, banjoe, kaoela (= kula), sampéjan, gelëm, ora gelëm, wong lanang, noewoen kakang totemënggoeng, sapa, dèrèng, wis késah. (P.J.P. Barth, 1892).


Wayang Simpang Saat Ini

Dalam masa perkembangannya, Wayang Kulit Simpang, seperti kesaksian banyak orang yang melihat langsung pertunjukannya pada tahun 1990-an, bahasanya menggunakan bahasa asli Simpang, dan dalam kondisi tertentu sang dalang bisa berbahasa Jawa.

Menurut Agus Puhun, pewaris wayang saat ini, cerita atau lakon yang diangkat adalah kisah lokal dan sang dalang bisa menyesuaikan nama tokoh wayang tersebut dengan era modern. Atau yang paling dekat, bisa berkisah tentang sejarah Kerajaan Matan, Simpang, atau Tanjung Pura, bahkan era kolonial Belanda. Konteks improvisasi lakon atau cerita wayang semacam ini dimungkinkan digunakan sang dalang hanya dalam pertunjukan pada masyarakat umum sebagai nilai hiburan, bukan untuk pertunjukan wayang guna ritual tertentu yang memiliki syarat atau pakem yang berat.

Maka, dari sisi ini, Wayang Simpang masih bisa dihidupkan kembali. Meskipun sang dalang yang mampu menggunakan wayang untuk sisi ritual sudah tidak ada lagi, Wayang Simpang dari sisi budaya dan pertunjukan masih memiliki peluang untuk kembali dilestarikan pada generasi masa depan agar tidak sirna begitu saja ditelan zaman. Sebab, Wayang Simpang memiliki kekhasan yang tidak sama dengan wayang lain; kekhasan inilah yang menjadi identitas serta nilai jual yang tidak dimiliki oleh daerah manapun.

Wayang Kulit Simpang Matan adalah narasi tentang pertemuan budaya, kompleksitas spiritualitas lokal, jalur pewarisan yang unik, dan urgensi pelestarian sebuah identitas yang berharga. Ini bukan hanya cerita wayang, tapi juga cermin peradaban masyarakat Tanah Kayong.


MIFTAHUL HUDA 12 Desember 2020

 

Artikel ini telah menjadi salah satu isi buku “ADAT ISTIADAT SIMPANG MATAN”. Jika ingin menyalin artikel ini silahkan sertakan sumber dari kami atau Konfirmasi ke 085246595000 untuk mengetahui perkembangan penelitian kami terima kasih salam budaya.

 


 

  FOTO  DOKUMENTASI

 

 

 

 

 

 

Agus Puhun dan Istri (pesah) pemegang waayang Simpang      Manuskrip tentang wayang simpang  J. P. J. Barth (1896)

 

 

 

 

 

 

Bersama Datok Haripin Personil Wayang Simpa ng                               Wujud Fisik dari wayang kulit simpang

Posting Komentar

0 Komentar