Abah rahmat (kiri ) saat memainkan alat mendu tahun 1971
Mendu khas Simpang Matan adalah sebuah warisan seni Melayu klasik, penggabungan antara lakon, tari, syair, dan musik. Kesenian ini dapat disetarakan dengan seni teater modern, namun dengan akar tradisi yang unik. Sayangnya, Mendu kini menjadi seni yang sangat langka, bahkan di Kabupaten Kayong Utara, daerah asalnya. Terakhir kali Mendu dimainkan secara resmi adalah pada tahun 1994, di era Kabupaten Ketapang sebelum pemekaran Kayong Utara. Sejak saat itu, pementasan Mendu seolah lenyap ditelan zaman.
Kabupaten
Kayong Utara dimasa lampau adalah wilayah dua kerajaan besar, yaitu Kerajaan
Sukadana dan Kerajaan Matan beserta Simpang Matan. Dari kedua kerajaan inilah
terwariskan beragam adat istiadat dan kebudayaan, salah satunya adalah seni
Mendu. Mendu, khususnya, adalah peninggalan seni tradisi yang diwariskan dari
Kerajaan Simpang. Walaupun gaungnya kini telah redup, semangat dan jiwanya
masih membara dalam diri sosok Abah Rahmat hingga
akhir hayatnya, yang meninggal pada usia 79 tahun dan dimakamkan di Sungai
Paduan, Kecamatan Teluk Batang.
Jejak Sejarah dan Pewaris Mendu
Menurut
penuturan Abah Rahmat sendiri, sang maestro Mendu, kesenian ini sudah ada sejak
zaman Kerajaan Simpang Matan. Ia mengingat cerita tutur dari guru Mendunya, Pak Uning Mat Lahir, yang merupakan pelestari Mendu di
Tanah Simpang pada tahun 1960-an. Pak Uning Mat Lahir bercerita bahwa ia
mendapatkan ilmu Mendu dari Ali Kahar, yang
kemudian Ali Kahar menerimanya dari Ali Buaya, seorang
seniman yang datang dari Malaysia ke Negeri Simpang pada tahun 1911. Bahkan
sebelum kedatangan Ali Buaya, seni Mendu diyakini sudah ada.
Dari para gurulah Abah
Rahmat muda kala itu mendapatkan ilmu Mendu dan menggelutinya selama puluhan
tahun. Dari satu pentas ke pentas lain, Abah Rahmat bersama grup Mendunya
sering diundang oleh masyarakat untuk hajatan pernikahan atau acara-acara
pemerintahan. Tengku Mochtar (84 tahun), seorang pensiunan pegawai pemerintah
asal Sukadana di masa Orde Baru, turut bercerita mengenai kedekatannya dengan
kelompok seni Mendu di daerah. Ia menjelaskan bahwa pada masa itu, Mendu juga
menjadi salah satu media bagi pemerintah untuk menyampaikan pesan-pesan
pembangunan, program Keluarga Berencana, dan lain-lain kepada masyarakat.
Menurut Tengku Mochtar,
pada masa itu ada beberapa grup Mendu yang tersebar di berbagai tempat seperti
Tambak Rawang, Mentubang, Rantau Panjang, Nipah Kuning, dan Sungai Paduan. Ia
kerap berkomunikasi dengan mereka, terutama menjelang momen peringatan
kemerdekaan atau hari besar lainnya, menunjukkan peran Mendu dalam kehidupan
sosial dan politik masa itu.
Seni Mendu mulai redup
ketika seni pertunjukan yang lebih modern seperti sandiwara, kemudian hiburan
musik, serta berbagai bentuk hiburan lainnya semakin marak berkembang.
Pementasan terakhir Abah Rahmat bersama grup Mendunya tercatat pada tahun 1994
di Tanjung Satai. Setelah itu, ia tidak pernah kembali mentas.
Sangat wajar jika Abah
Rahmat digelari sebagai sang maestro Mendu, sebab ia menguasai seluruh aspek
kesenian ini: mulai dari memainkan semua alat musik tradisional, bersyair,
berlakon, menari, hingga menyusun naskah atau cerita yang akan dibawakan.
Namun, sangat disayangkan, hingga saat ini, khususnya di Kabupaten Kayong
Utara, belum ada yang mewarisi kiprah dan keahlian Abah Rahmat secara
menyeluruh.
Imam Norman dari
Sukadana, yang pernah menjadi pemain Mendu dan mengenal Abah Rahmat,
menceritakan bahwa dalam pementasan Mendu, Abah Rahmat adalah sosok yang serba
bisa, terutama dalam berakting. Ia adalah aktor yang totalitas dan sangat
menjiwai perannya, sehingga seringkali penonton ikut terhanyut dalam kisahnya.
Meskipun dalam kondisi
yang semakin sulit, Abah Rahmat tidak pernah melupakan perannya dalam kesenian
Mendu. Bahkan di masa tuanya, ia sempat berupaya mengajar pada anak-anak SMP
dan SMA, namun sayangnya upaya tersebut tidak terwujud hingga pementasan karena
berbagai keterbatasan. Abah Rahmat sangat berharap kelak ada yang meneruskan
dan mewarisi kesenian tradisional Mendu ini. Baginya, dengan mencintai dan
merawat seni tradisi Mendu, banyak pelajaran yang bisa dipetik, seperti budi
pekerti, sejarah, sastra, tari, dan banyak lagi nilai-nilai luhur lainnya.
Semasa hidupnya, beliau sangat ingin mewariskan seni Mendu karena khawatir jika
ia tiada, kesenian ini tidak akan ada lagi yang bisa meneruskan.
Selain dikenal sebagai
maestro Mendu, Abah Rahmat juga merupakan tokoh masyarakat dan agama yang
disegani. Ia dikenal ramah, gemar membantu, dan tanpa pamrih mengabdikan
dirinya kepada masyarakat. Raden Jamahari, seorang seniman dan budayawan asal
Tanah Simpang, mengungkapkan bahwa Abah Rahmat adalah sosok yang sangat
bersahaja dan tak tergantikan.
Ilmu Abah Rahmat sangat
dalam mengenai soal budaya dan seni. Raden Jamahari sendiri sering datang
kepada Abah Rahmat untuk meminta wejangan serta pengalaman yang pernah dilalui
sang maestro. Raden Jamahari selama ini juga belajar Mendu pada Abah Rahmat,
sebab ia memiliki mimpi untuk bisa menghidupkan kembali kesenian tersebut.
Ciri Khas Mendu Melayu Simpang Asli
Menurut Abah Rahmat,
Mendu Melayu Simpang yang asli memiliki beberapa kriteria khas:
1.
Dari
Sisi Cerita:
Cerita-cerita yang dibawakan masih kental dengan narasi kerajaan, seperti kisah
Kerajaan Tanjungpura yang terdiri dari beberapa episode. Contohnya adalah
episode Indra Jaya Sakti (terdiri dari tiga episode), kisah Dandan Intan Setia (beberapa episode), Siti Zubaidah, dan lain-lain. Kisah-kisah ini adalah
naskah asli Mendu Simpang di masa lalu, yang secara historis dan tutur turut
menyumbang dokumentasi sejarah dan membantu perkembangan pengetahuan hingga
masa kini.
2.
Dari
Sisi Peran atau Lakon: Peran
atau lakon dalam Mendu saat itu cukup unik, di mana setiap lakon memiliki pakem (standar baku) yang sudah diatur. Misalnya, saat
raja akan keluar tampil, ada syair-syair khusus yang dibacakan untuk
menyambutnya, yang disebut senandung atau
"beladon". Abah Rahmat menyebutnya "beladon," di
mana saat "beladon" ini, terjadi dialog bersahutan antara abdi dalam
dan raja.
3.
Nilai
dari "Beladon": Nilai
yang dapat dipetik dari "beladon" ini adalah sebuah kesyahduan akan
masa lalu, yang menggambarkan kearifan mengenai sebuah tatanan kehidupan yang
tenteram, tenang, dan damai, penuh kesopanan, etika moral, serta penggunaan
bahasa santun yang tinggi. Selain itu, "beladon" memuat bahasa sastra
dan seni yang tinggi, sehingga meskipun orang awam sulit memahami maknanya
secara harfiah, mereka akan hanyut dalam keindahan syair-syairnya. Setiap syair
dalam "beladon" memiliki arti dan peruntukan yang berbeda-beda, misalnya
untuk raja, perdana menteri, patih, hulubalang, dan lain-lain. Akhir setiap
syair adalah dialog yang diungkapkan dengan bahasa sastra yang lugas dan jelas,
sebagaimana tutur masa lampau.
4.
Dari
Sisi Ilustrasi Musik:
Ilustrasi musik yang digunakan masih berupa musik live
dengan alat-alat tradisional, seperti rebab, gendang, gong, tetawak,
kenong, dan biola. Semua instrumen ini masih bisa dimainkan oleh
Abah Rahmat, yang memang dikenal sebagai multitalenta dalam seni Mendu kuno.
Mendu adalah cerminan
kekayaan budaya Melayu yang mendalam. Melestarikan dan menghidupkan kembali
seni ini bukan hanya tentang mempertahankan sebuah pertunjukan, tetapi juga
menjaga nilai-nilai luhur, kearifan lokal, dan identitas budaya masyarakat
Tanah Kayong untuk generasi mendatang.
0 Komentar