![]() |
Ilustrasi by Madi LSM |
Masyarakat
yang hidup di tepian sungai, khususnya di wilayah Simpang, Kabupaten Kayong
Utara, Kalimantan Barat, memiliki kepercayaan ghaib dan alam sekitar mereka.
Sungai bukan hanya sumber kehidupan, tetapi juga rumah bagi entitas-entitas
gaib yang dipercaya memiliki kekuatan dan perjanjian dengan manusia. Dua di antara kepercayaan yang paling menonjol
adalah legenda Buaya Kuning dan Hantu Buaya.
Buaya Kuning: Penguasa Sungai dan Penjelmaan Legendaris
Buaya
Kuning dipercaya oleh
masyarakat Simpang sebagai salah satu penguasa di beberapa wilayah sungai. Ia
diyakini sebagai penjelmaan siluman atau buaya jadi-jadian. Kepercayaan ini
menciptakan sebuah perjanjian tak tertulis antara manusia dan
buaya: buaya-buaya di Sungai Simpang tidak akan mengganggu atau
memangsa manusia, dengan catatan jika manusia tersebut tidak berbuat kesalahan
atau jika sang buaya tidak "salah melihat." Namun, jika salah satu
syarat ini dilanggar, maka kemungkinan manusia tersebut akan dimangsa.
Menurut
kepercayaan masyarakat Simpang, semua buaya yang ada di sungai itu takluk
terhadap pemimpin mereka, yaitu Buaya Kuning. Konon, Buaya Kuning inilah yang
telah melakukan perjanjian atau ikatan janji dengan manusia terdahulu. Salah
satu janji utamanya adalah tidak akan saling mengganggu bila tidak diganggu
terlebih dahulu. Masyarakat Simpang juga meyakini bahwa pawang buaya adalah satu-satunya orang yang bisa
melakukan komunikasi secara gaib dengan buaya-buaya di Sungai Simpang. Beberapa
pawang buaya bahkan dipercaya memiliki peliharaan atau yang masyarakat setempat
sebut sebagai "ingon-ingonan" (peliharaan gaib berupa buaya).
Kepercayaan
ini juga terkait dengan tradisi "adat bebuang"
atau "buang-buang" yang disebutkan sebelumnya, mirip dengan tradisi
di Mempawah. Selain itu, ada pantangan yang sangat dipegang teguh: mencuci kelambu di sungai sangat dilarang, karena
diyakini dapat memanggil buaya-buaya dari dasar sungai. Pantangan ini mungkin
berfungsi sebagai bentuk kearifan lokal untuk menjaga kebersihan sungai atau
sebagai cara untuk mengingatkan manusia agar selalu waspada terhadap lingkungan
perairan.
Kisah Pawang dan Pelajaran bagi Buaya
Sebuah kisah heroik dari
masa lalu diceritakan dari Hulu Negeri Simpang. Suatu ketika, seorang warga
ditangkap oleh buaya. Sang pawang buaya, dengan kekuatannya, segera turun
tangan. Setelah beberapa kali komat-kamit membaca mantra (toto), ia menepuk air
tiga kali. Tak lama kemudian, datanglah sang buaya membawa orang yang
dimangsanya, dengan air mata menetes seolah meminta belas kasih kepada sang
pawang. Namun, sang pawang sangat marah. Beruntung, orang yang ditangkapnya itu
masih hidup dan kemudian dilepaskan oleh buaya tersebut.
Sang pawang lantas
memberikan pelajaran pada si buaya dengan sebuah "tamparan."
Sekonyong-konyong, buaya yang terkena tamparan itu seperti tak sadarkan diri
hingga beberapa hari. Konon, bila manusia terkena ilmu "tampar buaya"
ini, ia bisa memuntahkan darah hitam, dan bila tidak cepat diberi penawar,
ajalnya akan cepat datang.
Sejak
kejadian itulah, buaya di Sungai Simpang tidak lagi pernah mengusik manusia,
dan begitu juga manusia tidak pernah mengusik buaya. Maka hingga saat ini,
masyarakat di tepian Sungai Simpang tidak begitu khawatir dengan buaya. Mereka
beraktivitas seperti memancing, mencari ikan, menjala, dan lain sebagainya,
menganggap bahwa buaya adalah bagian dari sahabat alam yang menyatu dengan
kehidupan mereka. Wallahu a'lam bish-shawab.
Asal-Usul Buaya Kuning: Kembaran Manusia atau Jelmaan Meriam?
Masyarakat
Simpang memiliki beberapa versi mengenai asal-usul Buaya Kuning. Satu
kepercayaan menyatakan bahwa Buaya Kuning adalah kembaran dari manusia,
menyiratkan hubungan mistis yang mendalam antara alam manusia dan alam buaya.
Versi
lain yang lebih heroik menghubungkan Buaya Kuning dengan sejarah perlawanan
terhadap penjajah. Buaya Kuning dipercaya sebagai perwujudan dari salah satu meriam kembar "Bujang Koreng". Konon, salah
satu meriam ini menjelma menjadi buaya kuning saat dilemparkan oleh Gusti Panji
ke Sungai Simpang akibat kemurkaannya dengan penjajahan Belanda. Kisah ini
tidak hanya memberikan asal-usul Buaya Kuning tetapi juga mengaitkannya dengan
narasi perjuangan lokal melawan kolonialisme, menambah dimensi historis pada
legenda tersebut.
Hantu Buaya: Penyamar Malam di Tepi Sungai
Selain
Buaya Kuning, masyarakat Simpang juga mengenal kepercayaan akan Hantu Buaya. Berbeda dengan Buaya Kuning yang berwujud
buaya asli, Hantu Buaya ini biasa muncul dalam wujud manusia dengan suara
sengau. Kedatangannya bermaksud meminta api. Jika ia
meminta, masyarakat percaya bahwa harus diberikan. Namun, ada aturan penting: puntung kayu api yang diberikan harus panjang, jangan yang pendek.
Jika diberikan yang pendek, dipercaya kita akan ditarik ke dalam alamnya,
sedangkan jika diberikan yang panjang, kita akan selamat.
Kepercayaan terhadap
Hantu Buaya ini melahirkan nasihat dari orang tua dahulu: jika ada orang yang
mengetuk pintu pada malam hari, terutama bagi yang tinggal di tepi sungai,
jangan dibuka jika orang tua tidak ada di rumah.
Makna di Balik Hantu Buaya
Kisah Hantu Buaya dapat
diinterpretasikan sebagai:
·
Peringatan
Bahaya Malam dan Air:
Tinggal di tepi sungai memiliki risiko, terutama di malam hari. Kisah ini bisa
berfungsi sebagai pengingat untuk tidak sembarangan membuka pintu atau
berinteraksi dengan orang asing di malam hari, demi keamanan.
·
Uji
Kedermawanan dan Batasan:
Permintaan "api" bisa jadi simbol permintaan pertolongan atau
berbagi. Namun, syarat "puntung panjang" menunjukkan bahwa bantuan
harus diberikan dengan perhitungan dan batasan, agar tidak membahayakan diri
sendiri. Memberi yang panjang melambangkan kebijaksanaan dan perlindungan diri,
sedangkan memberi yang pendek bisa berarti kerentanan atau kurangnya
pertimbangan.
·
Mitos
sebagai Kontrol Sosial:
Nasihat untuk tidak membuka pintu ketika orang tua tidak ada, terutama di tepi
sungai, berfungsi sebagai kontrol sosial untuk
menjaga anak-anak atau anggota keluarga dari potensi bahaya yang tidak
terlihat, baik dari makhluk gaib maupun manusia jahat.
Kedua legenda, Buaya
Kuning dan Hantu Buaya, adalah cerminan dari kekayaan kepercayaan animisme dan
dinamisme yang berpadu dengan unsur-unsur sejarah dan nilai-nilai moral dalam
masyarakat Melayu Simpang. Mereka tidak hanya menghibur tetapi juga membentuk
pandangan dunia, etika interaksi dengan alam, serta menjadi pedoman bagi
kehidupan sehari-hari di tepian sungai.
0 Komentar