MEMANGGOR: Adab Membuka Ladang dalam Tradisi Masyarakat Tanah Kayong

 



MEMANGGOR: Adab Membuka Ladang dalam Tradisi Masyarakat Tanah Kayong

Penulis : Raden Hardinoto 

Editor : Miftahul Huda 


Manusia diamanahkan sebagai khalifah di Bumi, sudah semestinya tingkah laku kita mencerminkan sikap yang mulia dan beradab, melebihi makhluk lainnya. Layaknya manusia yang disebut manusia, bukan hanya karena fisiknya semata, melainkan lebih kepada akhlakul karimah dalam berperilaku. Demikian pula perilaku manusia tidak terbatas pada sesama manusia saja, melainkan juga kepada alam dan semesta. Salah satu contoh yang diajarkan oleh para leluhur adalah bagaimana perilaku kita dalam adat Memanggor, sebuah tradisi untuk membuka lahan baru.

Ritual Awal dan Perlengkapan  

Tradisi Memanggor diawali dengan ritual berdoa kepada Yang Maha Kuasa, disertai membakar kemenyan serta menaburkan bereteh (sejenis padi yang disangrai hingga muncul busa-busa padi putih yang meletus). Untuk perlengkapan lainnya (disebut "perabah") adalah jipang (istilah sekarang: biji-bijian yang dipanggang), sirih sekapur, rokok sebatang, dan lain-lain.

Toto Mamang: Doa Permohonan Izin

Dalam ritual doa yang disebut Toto Mamang, diawali dengan bacaan Basmallah. Selanjutnya, salam diberikan kepada bumi, air, api, dan tanah beserta alam dan seisinya, baik yang tampak maupun tidak tampak. Dalam Toto Mamang tersebut juga disebut Nabi Adam sebagai pengasih tanah, Nabi Ya’kub sebagai "pengadoh" (pemilik) batu, Nabi Yahya sebagai "pengadoh" kayu, dan Nabi Zakaria sebagai "pengadoh" akar.

Setelah itu, permohonan izin disampaikan kepada Adam Tue (yang berarti sebelum Adam sudah ada Adam lain di muka bumi beserta Siti Hawa). Selanjutnya, izin diminta kepada Adam yang ketujuh, dengan bacaan:

Ini Adam setelah Adam zahir ke dunie, Adam yang mude ini sudah ade bagian tanah kayu kayan yang di bahagian tempatnye.

Selanjutnya, Toto Mamang dilanjutkan kembali dengan:

Kami ini minta ijin mau buka hutan mau belako atau hal lainnye, inim tande kami ade bereteh nin, kami yang berat tak ringankan langkah. Yang timpang becungkang yang butak besusor tali yang lumpuh tak tandukan, yang bunting, yang beranak, sakit, inim tande kami sireh sekapor rokok suloh sebatang kali kegelapan untuk tanjok bejalan. Sireh ni barangkali untuk kekauk sesembor anak merange bunting seman. Kami mohon mingger pindahan Dolok nyelasah nyeliseham. Kami mau menebas menebang, kalau isi lako sudah ade ayok am kite sesame ngetam, gambik isiknye, kite sesame menjage berdo`e memudahan renas isinye. Basmallah...berkat harkat martabat umat Muhammad Baginda Rasulullah.

Uniknya, di kalangan masyarakat Dayak non-Muslim juga menggunakan Toto Mamang tersebut dengan ucapan Basmallah dan kata “Baginda Muhammad” di penutupnya. Hal ini menunjukkan harmoni antara agama dan tradisi yang dapat hidup selaras.


Proses dan Adab Setelah Ritual

Setelah usai melakukan ritual, biasanya ditandai dengan menebas sedikit sebagai tanda. Setelah itu, lahan dibiarkan selama tiga sampai tujuh hari, barulah dimulai penebasan yang sebenarnya. Inilah adab agar makhluk-makhluk, baik yang tampak maupun tidak, memiliki waktu untuk bergeser atau berpindah. Tidak seperti sekarang, bahkan Basmallah pun tak sempat dibaca; hutan langsung ditebang menggunakan gergaji mesin atau digusur dengan excavator dan alat berat lainnya.

Hal ini bukanlah masalah takhayul atau percaya pada yang namanya kena badhi (kutukan) atau lainnya. Tapi lebih kepada adab manusia yang dikatakan sempurna dan mulia, tergambar dari perilaku dan sikapnya sebagai pemimpin khalifah di bumi yang haruslah santun dan bijak kepada semua makhluk dan semesta alam.

Makna Simbolis Para Nabi dan Penghormatan Peralatan

Dalam ritual tersebut, mengapa bersalam kepada para nabi? Hal ini dimaksudkan bahwa Nabi Adam tercipta dari tanah, sehingga menyimbolkan penguasa tanah. Nabi Ya’kub AS terkait dengan perjanjian sumpah batu oleh Allah. Kemudian Nabi Yahya adalah mengenang saat beliau tersayat di dalam sebatang pohon dan bersembunyi di dalam batang kayu ketika dikejar umatnya. Kemudian, menyebut "Nabi Akar" dimaksudkan agar tidak mengait-ngaitkan kayu, parang, dan sebagainya ketika menebang dan menebas.

Kemudian, pada masa panen awal, dikumpulkanlah parang, beliung, capan, alu, dan sebagainya di dalam nyiruk dan nampan dengan maksud diberi makan, dahulu disebut "sengkomok". Padi yang baru dipanen, kemudian ditumbuk dan diayak. Sekam dan kulitnya ditambahkan beras, kemudian dimasukkan ke dalam sengkomok yang terdapat capan, parang, dan beliung. Selanjutnya, diundanglah mereka yang dimohon saat membuka lahan pertama untuk sama-sama menikmati.

Mengapa parang, beliung, capan, dan nyiruk ikut dibawa? Sebab mereka juga makhluk Allah yang "Hayat" atau yang ikut andil dalam proses pekerjaan, sehingga juga patut dihargai. Jika dalam bahasa kampung, mereka "dipusaki".

Raden Hardinoto : Penulis 


Refleksi Diri: Manusia Beradab Seutuhnya

Sekilas, tradisi tersebut terlihat takhayul, bahkan tak jarang disyirikkan. Namun, mari bertanya pada diri kita masing-masing saat ini, sehalus dan seberadab dalam tradisi Memanggor itukah perlakuan kita kepada makhluk lain dan alam ini? Atau justru kita yang merasa beragama kadang malah lebih biadab? Hanya tahu makan kenyang di perut, tak peduli dengan alam sekitar, sehingga maaf kata, menjadi manusia yang hanya lapar dan haus terus-menerus tanpa henti.

Tradisi Memanggor bukan sekadar ritual kuno, melainkan sebuah cerminan kearifan lokal masyarakat Tanah Kayong yang sarat akan makna. Ada beberapa hikmah mendalam di balik tradisi ini:

1. Penghormatan terhadap Alam dan Makhluk Lain

Memanggor mengajarkan kita untuk menghargai alam semesta sebagai entitas yang hidup dan berjiwa. Melalui ritual doa dan permohonan izin kepada bumi, air, api, dan tanah, serta makhluk tak kasat mata, masyarakat menunjukkan bahwa pembukaan lahan bukanlah tindakan sepihak. Ini adalah bentuk pengakuan bahwa manusia adalah bagian dari ekosistem yang lebih besar, dan setiap tindakan kita memiliki dampak pada lingkungan dan penghuninya. Memberi waktu tiga hingga tujuh hari sebelum menebas secara penuh juga menunjukkan rasa hormat agar makhluk lain memiliki kesempatan untuk bergeser atau berpindah.

2. Adab dan Etika dalam Memanfaatkan Sumber Daya

Tradisi ini menekankan pentingnya adab dan etika dalam memanfaatkan sumber daya alam. Penggunaan "Basmallah" dan penyebutan Nabi-Nabi (Adam sebagai penguasa tanah, Ya'kub pengadoh batu, Yahya pengadoh kayu, Zakaria pengadoh akar) bukan hanya ritual keagamaan, tetapi juga simbolisasi tanggung jawab moral terhadap setiap elemen alam. Ini adalah pengingat bahwa manusia diberikan amanah sebagai khalifah di bumi, yang berarti harus bertindak bijaksana dan santun, bukan sekadar mengeksploitasi tanpa peduli.

3. Keselarasan Spiritual dan Material

Memanggor menunjukkan keselarasan antara dimensi spiritual dan material. Meskipun tujuannya adalah membuka lahan untuk kebutuhan hidup (material), prosesnya dibingkai dalam nilai-nilai spiritual dan penghormatan. Ini mengajarkan bahwa keberlimpahan hasil panen bukan hanya karena kerja keras manusia, tetapi juga berkat izin dan keberkahan dari Yang Maha Kuasa, serta keselarasan dengan alam. Ritual "sengkomok" yang memberi makan alat-alat pertanian adalah bentuk penghargaan terhadap alat sebagai makhluk Allah yang turut berjasa, menegaskan bahwa segala sesuatu memiliki "hayat" atau peranan dalam kehidupan.

4. Harmoni Antarumat Beragama dan Tradisi

Penggunaan "Basmallah" dan penyebutan "Baginda Muhammad" oleh masyarakat Dayak non-Muslim dalam ritual ini adalah bukti nyata harmoni dan toleransi antarumat beragama dalam bingkai tradisi. Ini menunjukkan bahwa nilai-nilai kebaikan dan penghormatan terhadap alam dapat melampaui sekat-sekat agama, menciptakan jembatan persaudaraan dan kebersamaan dalam menjaga lingkungan.

5. Kritik Tersirat terhadap Eksploitasi Modern

Secara tidak langsung, tradisi Memanggor menjadi kritik terhadap praktik eksploitasi hutan modern yang serampangan. Ketika dahulu manusia membutuhkan waktu untuk berdoa dan memberi kesempatan alam beradaptasi, kini hutan ditebang langsung dengan alat berat tanpa jeda dan tanpa pemikiran mendalam. Ini adalah pengingat bahwa meskipun teknologi maju, adab dan kebijaksanaan dalam berinteraksi dengan alam tidak boleh tergerus. Manusia modern mungkin merasa "beragama," namun terkadang justru lebih "biadab" dalam memperlakukan alam.

Memanggor adalah sebuah pelajaran berharga tentang bagaimana seharusnya manusia berinteraksi dengan lingkungannya: dengan rasa hormat, adab, tanggung jawab, dan kesadaran akan keberlanjutan. Tradisi ini mengajak kita merenung, "Apakah kita sudah menjadi manusia seutuhnya yang mengelola alam ini dengan amanah?" Mari sama-sama kita pikirkan.

Kalau Engkau Menjunjung langit jangan lupa Rumput di Bumi.

Wallahua`lam bishawab.

 

Posting Komentar

0 Komentar