ADAT BETIMBANG YANG DIMUALLAFKAN : Harmonisasi antara Islam dan Budaya


 ADAT BETIMBANG YANG DIMUALLAFKAN: Kearifan Leluhur dalam Bingkai Islam di Tanah Kayong

Penulis : Raden Hardinoto

 

Asal mula tradisi adat Betimbang atau Timbang Raje hingga kini belum diketahui secara pasti kapan bermula. Namun, berdasarkan penuturan lisan yang diwariskan dari generasi ke generasi, tradisi ini diyakini sudah ada sejak zaman Kerajaan Tanjungpura tua, bahkan sebelum datangnya Islam ke wilayah ini. Lazimnya, tradisi Betimbang ini dilaksanakan beriringan dengan adat Belamin oleh masyarakat yang bermukim di Muara Kayong (Ketapang) dan juga Kayong Utara. Dalam versi yang lain adat Betimbang ini dikhususkan untuk keturunan bangsawan di wilayah bekas kerajaan Tanjungpura, baik laki-laki maupun perempuan.

 "Belamin" atau "lamin" sendiri merupakan tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Kayong, khususnya bagi anak perempuan keturunan bangsawan saat mengalami menstruasi pertama kali (datang bulan). Selain disebut Belamin, sebagian masyarakat juga mengenalnya dengan sebutan "bepekap" atau "bekurong," yang secara harfiah berarti "bersembunyi." Biasanya, setelah seseorang melakukan tradisi "keluar Lamin," maka tahapan selanjutnya adalah "Tijak Tanah" atau "Mandik Bunting," yang kemudian wajib dilanjutkan dengan pelaksanaan adat Betimbang. Uniknya, nama timbangan tersebut di beberapa tempat tertentu diberi nama timbang "Raden Ahlussunah."

 Makna dan Filosofi Timbangan Adat

Timbangan adat ini terbuat dari kayu, namun bukan sembarang kayu dapat digunakan sebagai medianya. Kayu yang dipilih adalah "kayu empinan" dan "baner pohon kayu kali ampuk," menunjukkan adanya pemilihan khusus yang sarat makna. Lebih lanjut, tidak semua orang dan turunan dapat membuat, memegang tali timbangan, maupun yang berhak menaikinya. Ini menunjukkan bahwa adat Betimbang bukan sekadar ritual seremonial belaka, melainkan lebih kepada moral dan pertanggungjawaban dunia dan akhirat bagi mereka yang diwajibkan menjalaninya.

 Timbangan ini berbentuk neraca, seperti timbangan emas yang memiliki dua sisi, kiri dan kanan. Sisi kanan dilapisi kain tujuh warna, sementara di sisi kiri terdapat "juadah madah" (ragam makanan) dan "pemakanan." Pada kayu timbangan, terukir sosok naga yang menghiasinya, menambah kesan sakral dan simbolis.

 Kewajiban Betimbang bagi keturunan bangsawan memiliki alasan kuat: mereka secara mental wajib menjunjung moral dan adab yang tinggi. Lantas, apa saja yang ditimbang?

1.      Akal: Untuk mengendalikan nafsu, sehingga dapat berbudi pekerti luhur.

2.      Tingkah Laku: Menimbang perilaku sehari-hari, agar senantiasa baik.

3.      Fisik: Seluruh anggota badan, panca indra, serta hati dan pikiran.

Esensi dari timbangan ini adalah menimbang pertanggungjawaban dunia akhirat. Jika bobot timbangan mengarah pada kecenderungan berat dan tamak kepada dunia dengan cara yang melanggar norma (keserakahan), yang dilambangkan dalam "juadah madah" di sisi kiri timbangan, maka hal ini diindikasikan sebagai perilaku yang tidak seimbang. Di atas kepala mereka yang naik timbangan adat, terdapat ukiran naga, yang diinterpretasikan sebagai "siksa yang mengancam di alam yang lain." Singkatnya, timbangan ini menggambarkan timbangan Surga dan Neraka yang menanti.

 Sejauh ini lorong pemikiran spiritual nenek moyang kita telah memahami arti hidup dan kehidupan sesudah mati. Masihkah kita terpengaruh dengan propaganda penjajah yang mengatakan nenek moyang kita kolot, menganut animisme, atau berbuat syirik bahkan bid'ah?

 Adat Betimbang sebagai Media Pendidikan dan Kepemimpinan

Melalui adat Betimbang ini, tersaji sebuah media pembelajaran untuk mendidik dan menyiapkan mental mereka yang diwajibkan naik timbangan. Harapannya, kelak mereka akan menjadi pribadi yang matang, termasuk menjadi pemimpin yang arif dan bijaksana. Tiba masanya, semisal diutus atau dijadikan raja atau panembahan kecil di suatu wilayah, mereka akan senantiasa mengingat pesan-pesan yang sudah ditanamkan melalui ritual adat Betimbang ini. Ini adalah pendidikan karakter yang mengajarkan pemimpin untuk memberikan contoh yang baik kepada rakyat yang dipimpin, menjadi pengayom, pelayan, serta memberikan rasa adil, bukan semena-mena menjadikan rakyat hanya sebagai objek kekuasaan.

 Propaganda yang mengatakan raja-raja Nusantara itu zalim, animisme, serta menggunakan masyarakat sebagai "ulun" (budak) dan mengeksploitasi upeti adalah narasi yang sengaja didengungkan penjajah. Tujuannya adalah agar kekuatan harmoni masyarakat kita yang saling menjaga, saling mengasihi, dan mengasuh dalam bingkai tatanan adat yang kuat menjadi tercerai berai. Kita dahulu memiliki tatanan sosial yang rapi seperti yang disebut "Mayak, Mengkalang, Siring, Mambal, Priyayi Rangkaya, dan Panca." Namun, hari ini tatanan tersebut tak lagi diketahui dan telah kabur.

Paham-paham penjajah inilah yang menciptakan propaganda dengan istilah "Dayak" dan "Melayu" yang dahulunya kita lebih harmoni dengan petatah-petitih (petuah) ajaran orang tua kita, dengan sebutan kekeluargaan "Sengiang" dan "Sengonan" yang berarti Kakak dan Adik. Sayangnya, nilai-nilai tersebut kini telah tereduksi, dan mulai mengkhawatirkan akibat isu sektarian dari kelompok agama dengan pemahaman fanatik buta. Apa sebenarnya tujuan dari propaganda pengkotakan ini? Saya kira tak lebih dari agar kita tidak kuat, sehingga tujuan penjajah itu sendiri berhasil dalam misinya. Ini adalah refleksi yang mengundang kita untuk berpikir ulang mengenai kenyataan yang ada.

Harmonisasi Adat dan Islam

Melanjutkan pembahasan mengenai adat Betimbang, menariknya adalah bagaimana setelah pengaruh Islam masuk, budaya-budaya lama tidak serta-merta dirombak, dibuang, bahkan dikafirkan atau disyirikkan oleh sebagian ulama. Di Desa Tanjungpura, kita mengenal sosok Tuan Guru Syekh Maghribi dan Tuan Guru Imam Gedong yang menjadi penasihat spiritual raja pada zaman kerajaan.

Bahkan kedekatan Sultan dan permaisuri dengan para ulama ini dapat terlihat dari satu kompleks nisan mereka yang bersama dengan Tuan Syekh Maghribi dan Tuan Guru Imam Gedong. Muncul pertanyaan: apakah Tuan Syekh Maghribi dan Imam Gedong dangkal keilmuan Islamnya? Kurang pemahaman, atau sebaliknya, sangat maksum dan memahami esensial ajaran agama secara utuh? Bukan hanya secara tekstual, namun juga secara kontekstual. Ini terlihat dari sikap mereka yang tidak melarang tradisi demikian.

Marilah kita merenung dengan sikap arogan oknum penyiar agama yang selalu mengumbar kata-kata syirik, bid'ah, sesat, dan ancaman neraka. Yang menggelitik bagi saya adalah nama timbangan ini: "Raden Ahlussunah." Apakah penamaan ini ada pergeseran dari nama aslinya, atau hanya penambahan kata "Ahlussunah" setelah pengaruh Islam itu masuk? Jika ini yang terjadi, betapa bijaknya syiar keislaman yang diterapkan. Bagi pemahaman penulis, ini adalah bentuk "Ritual Adat yang Dimuallafkan," yang juga merupakan hasil harmonisasi dan kebijakan para nenek moyang kita dahulu dalam merajut keberagaman.

Mungkin sekian dari penulis. "Tinggi duduk setompap, tinggi berdiri." Kami bukan hendak menggurui, tentu kritik dan saran selalu kami harapkan untuk menambah khazanah budaya kita. "Kecik mohon ditangker, pendek mohon disambong" (yang kecil mohon dibesarkan, yang kurang mohon dilengkapi).

Wallahu a'lam bish-shawab.

 

Posting Komentar

0 Komentar