ADAT BETIMBANG YANG DIMUALLAFKAN: Kearifan Leluhur dalam Bingkai Islam di Tanah Kayong
Penulis : Raden Hardinoto
Asal
mula tradisi adat Betimbang atau Timbang Raje hingga kini belum
diketahui secara pasti kapan bermula. Namun, berdasarkan penuturan lisan yang
diwariskan dari generasi ke generasi, tradisi ini diyakini sudah ada sejak
zaman Kerajaan Tanjungpura tua, bahkan sebelum datangnya Islam ke wilayah ini.
Lazimnya, tradisi Betimbang ini dilaksanakan beriringan dengan adat Belamin oleh masyarakat yang bermukim di Muara Kayong
(Ketapang) dan juga Kayong Utara. Dalam versi yang lain adat Betimbang ini
dikhususkan untuk keturunan bangsawan di wilayah bekas kerajaan Tanjungpura,
baik laki-laki maupun perempuan.
Timbangan
adat ini terbuat dari kayu, namun bukan sembarang kayu dapat digunakan sebagai
medianya. Kayu yang dipilih adalah "kayu empinan" dan "baner
pohon kayu kali ampuk," menunjukkan adanya pemilihan khusus yang sarat
makna. Lebih lanjut, tidak semua orang dan turunan dapat membuat, memegang tali
timbangan, maupun yang berhak menaikinya. Ini menunjukkan bahwa adat Betimbang
bukan sekadar ritual seremonial belaka, melainkan lebih kepada moral dan pertanggungjawaban dunia dan akhirat bagi
mereka yang diwajibkan menjalaninya.
1.
Akal: Untuk mengendalikan nafsu, sehingga dapat
berbudi pekerti luhur.
2.
Tingkah
Laku: Menimbang perilaku
sehari-hari, agar senantiasa baik.
3.
Fisik: Seluruh anggota badan, panca indra, serta
hati dan pikiran.
Esensi
dari timbangan ini adalah menimbang pertanggungjawaban
dunia akhirat. Jika bobot timbangan mengarah pada kecenderungan
berat dan tamak kepada dunia dengan cara yang melanggar norma (keserakahan),
yang dilambangkan dalam "juadah madah" di sisi kiri timbangan, maka
hal ini diindikasikan sebagai perilaku yang tidak seimbang. Di atas kepala
mereka yang naik timbangan adat, terdapat ukiran naga, yang diinterpretasikan
sebagai "siksa yang mengancam di alam yang lain." Singkatnya,
timbangan ini menggambarkan timbangan Surga dan Neraka yang
menanti.
Melalui
adat Betimbang ini, tersaji sebuah media pembelajaran untuk mendidik dan
menyiapkan mental mereka yang diwajibkan naik timbangan. Harapannya, kelak
mereka akan menjadi pribadi yang matang, termasuk menjadi pemimpin yang arif dan bijaksana. Tiba masanya,
semisal diutus atau dijadikan raja atau panembahan kecil di suatu wilayah,
mereka akan senantiasa mengingat pesan-pesan yang sudah ditanamkan melalui
ritual adat Betimbang ini. Ini adalah pendidikan karakter yang mengajarkan
pemimpin untuk memberikan contoh yang baik kepada rakyat yang dipimpin, menjadi
pengayom, pelayan, serta memberikan rasa adil, bukan semena-mena menjadikan
rakyat hanya sebagai objek kekuasaan.
Paham-paham penjajah
inilah yang menciptakan propaganda dengan istilah "Dayak" dan
"Melayu" yang dahulunya kita lebih harmoni dengan petatah-petitih
(petuah) ajaran orang tua kita, dengan sebutan kekeluargaan
"Sengiang" dan "Sengonan" yang berarti Kakak dan Adik.
Sayangnya, nilai-nilai tersebut kini telah tereduksi, dan mulai mengkhawatirkan
akibat isu sektarian dari kelompok agama dengan pemahaman fanatik buta. Apa
sebenarnya tujuan dari propaganda pengkotakan ini? Saya kira tak lebih dari
agar kita tidak kuat, sehingga tujuan penjajah itu sendiri berhasil dalam
misinya. Ini adalah refleksi yang mengundang kita untuk berpikir ulang mengenai
kenyataan yang ada.
Harmonisasi Adat dan Islam
Melanjutkan
pembahasan mengenai adat Betimbang, menariknya adalah bagaimana setelah
pengaruh Islam masuk, budaya-budaya lama tidak serta-merta dirombak, dibuang,
bahkan dikafirkan atau disyirikkan oleh sebagian ulama. Di Desa Tanjungpura,
kita mengenal sosok Tuan Guru Syekh Maghribi dan Tuan Guru Imam Gedong yang menjadi penasihat spiritual
raja pada zaman kerajaan.
Bahkan kedekatan Sultan
dan permaisuri dengan para ulama ini dapat terlihat dari satu kompleks nisan
mereka yang bersama dengan Tuan Syekh Maghribi dan Tuan Guru Imam Gedong.
Muncul pertanyaan: apakah Tuan Syekh Maghribi dan Imam Gedong dangkal keilmuan
Islamnya? Kurang pemahaman, atau sebaliknya, sangat maksum dan memahami
esensial ajaran agama secara utuh? Bukan hanya secara tekstual, namun juga
secara kontekstual. Ini terlihat dari sikap mereka yang tidak melarang tradisi
demikian.
Marilah
kita merenung dengan sikap arogan oknum penyiar agama yang selalu mengumbar
kata-kata syirik, bid'ah, sesat, dan ancaman neraka. Yang menggelitik bagi saya
adalah nama timbangan ini: "Raden Ahlussunah."
Apakah penamaan ini ada pergeseran dari nama aslinya, atau hanya penambahan
kata "Ahlussunah" setelah pengaruh Islam itu masuk? Jika ini yang
terjadi, betapa bijaknya syiar keislaman yang diterapkan. Bagi pemahaman
penulis, ini adalah bentuk "Ritual Adat yang
Dimuallafkan," yang juga merupakan hasil harmonisasi dan
kebijakan para nenek moyang kita dahulu dalam merajut keberagaman.
Mungkin sekian dari
penulis. "Tinggi duduk setompap, tinggi berdiri." Kami bukan hendak
menggurui, tentu kritik dan saran selalu kami harapkan untuk menambah khazanah
budaya kita. "Kecik mohon ditangker, pendek mohon disambong" (yang
kecil mohon dibesarkan, yang kurang mohon dilengkapi).
Wallahu a'lam
bish-shawab.
0 Komentar