Penulis : Miftahul Huda
Jauh sebelum gema azdan berkumandang di Tanah Kayong, peradaban manusia telah menjejakkan kakinya di wilayah ini selama ribuan, bahkan puluhan ribu tahun silam. Bukti-bukti arkeologis dari beberapa situs purbakala yang tersebar di berbagai kecamatan di Kabupaten Kayong Utara menjadi saksi bisu akan keberadaan nenek moyang kita.
Dibandingkan dengan rentang waktu yang
begitu panjang ini, usia Islam, yang baru berusia 14 abad sejak dibawa pertama
kali oleh Nabi Muhammad SAW, terbilang muda. Apalagi, kedatangan Islam di Tanah
Kayong sendiri baru terjadi sekitar abad ke-15 Masehi, sekitar 500 tahun yang
lalu. Kondisi ini secara lugas mengindikasikan bahwa sebelum kedatangan agama
Islam, telah ada pola kepercayaan yang tumbuh dan berkembang di Tanah Kayong.
Sebelum menyelami lebih jauh kepercayaan di Tanah Kayong
pra-Islam, ada baiknya kita meninjau kembali sejarah peradaban manusia secara
global. Dari perspektif sejarah, terlihat jelas bahwa agama dan kebudayaan
telah berjalan beriringan, tak terpisahkan. Keduanya merupakan cerminan dari
cara pandang manusia dalam memahami eksistensi diri, dunia, dan alam semesta
yang luas.
Dari Pemujaan Semesta
hingga Peran Otoritas Prasejarah
Perkembangan agama sejalan dengan awal
peradaban manusia, ditandai dengan pemujaan terhadap semesta dan dunia roh.
Pemujaan tersebut selanjutnya disimbolkan dan diakui secara kolektif oleh
sekelompok masyarakat. Pada mulanya, sistem kepercayaan ini berkembang dalam
komunitas terbatas. Kemudian, terjadi transformasi antraperadaban yang
memungkinkan terjadinya pembauran untuk menyesuaikan dengan peradaban baru.
Pada tahap ini, sistem kepercayaan masih sangat sederhana, dengan aturan dan
norma yang belum tertulis, sebab masyarakat saat itu belum mengenal tulisan.
Era ini lazimnya disebut sebagai zaman prasejarah.
Otoritas tertinggi dalam sistem kepercayaan ini seringkali dipegang oleh
seseorang yang ditunjuk atau dipercayai memiliki pengetahuan lebih mengenai
hal-hal gaib. Bahkan, dalam beberapa kelompok masyarakat, seorang pemimpin
ritual juga merangkap sebagai kepala suku, menunjukkan keterikatan erat antara
spiritualitas dan kepemimpinan sosial.
Warisan Megalitikum
dan Tradisi Pemakaman Islam di Tanah Kayong
Di Tanah Kayong, jejak kepercayaan Megalitikum
dapat ditemukan secara faktual dilapangan. Contohnya adalah Menhir di Gunung Keramat Pulau Karimata dan Menhir di Bukit Mandi Punai Desa Durian Sebatang.
Keberadaan bukti arkeologis ini mengindikasikan bahwa masyarakat Kayong pada
masa purba telah mengenal sistem kepercayaan, meskipun dalam bentuk yang
sederhana.
Sinkretisme dan Dakwah
Sufistik: Islamisasi di Tanah Kayong
Sebelum Islam, Tome Pires, penjelajah
Portugis, mencatat pada tahun 1512 bahwa mayoritas penduduk Pantai Barat Borneo
adalah penganut paganisme. Paganisme adalah sistem
kepercayaan yang melibatkan pemujaan roh leluhur, dewa-dewa, serta praktik yang
berhubungan erat dengan alam, dengan ritual yang bervariasi sesuai kondisi
lokal. Contohnya adalah kepercayaan Kaharingan pada
masyarakat Dayak, yang berkaitan dengan roh leluhur, Dewa atau Jubata, serta
kekuatan alam, menekankan harmonisasi kehidupan dan menggunakan simbol-simbol
filosofis dalam ritual mereka.
Tradisi pra-Islam ini masih lestari bahkan setelah masuknya Hindu, Buddha, hingga Islam pada abad ke-15 di Tanah Kayong. Pemakaian sesajian, misalnya, masih banyak ditemui dalam tradisi masyarakat Islam Melayu. Dengan demikian, kondisi kebudayaan dan kepercayaan hari ini adalah hasil dari proses panjang pembauran dan pergumulan antraperadaban.
Kegiatan para penyebar atau pembina kehidupan keagamaan di Tanah Kayong selalu berkeliling, melalui budaya, karya seni, sastra, dan kegiatan sosial, yang seringkali dijalankan melalui pusat-pusat kekuasaan. Hal ini bermula setidaknya dari abad ke-15, ketika Kerajaan Tanjungpura era Sukadana memiliki raja Islam pertama bergelar "Sultan", yaitu Sulthan Ali Aliuddin, yang naik takhta pada tahun 1487 Masehi. Sejak saat itu, konsep pembauran budaya, dari manapun asalnya, diperlakukan sebagai milik bersama. Suasana keberagaman inilah yang kemudian berperan penting dalam pembentukan dan perjalanan budaya berikutnya hingga hari ini.
Para pendakwah Islam pada masa itu memainkan peranan terpenting dalam penyebaran Islam melalui pendekatan sufistik yang inovatif. Mereka menampilkan wajah Islam yang lebih atraktif dan komunikatif, mencari kesamaan pandangan dan keyakinan yang dapat menjadi titik masuk. Kebanyakan pintu masuk ini melewati sendi-sendi kehidupan sosial, seni, serta kearifan lokal yang saling menyesuaikan.
Penekanan para sufi yang piawai ini lebih pada kesesuaian perilaku Islami dan kontinuitas dalam kehidupan, daripada perubahan identitas secara mendadak dalam kepercayaan dan praktik keagamaan. Pergumulan pemikiran dan nilai-nilai filosofis yang ditekankan para sufi yang banyak mendalami ilmu tasawuf, tampaknya diterima dengan baik oleh masyarakat kala itu. Jejak ajaran sufi ini masih terlihat jelas dari sebagian pola pandang masyarakat yang mewarnai Islam di Tanah Kayong, terbukti dengan banyaknya kitab-kitab tasawuf lama yang ditemukan di sana.
Masuknya Islam melalui pola kebudayaan di Kalimantan Barat, khususnya Tanah Kayong, terlihat dari jejak pembaurannya dengan nuansa Hindu serta kepercayaan lokal semacam Kaharingan, yang saat ini masih dianut oleh sebagian masyarakat Dayak di pedalaman. Sementara itu, di daerah pesisir, kepercayaan masyarakat Melayu yang mayoritas Islam juga masih kental dengan hal-hal mistik. Jejak kepercayaan leluhur masih tercermin dalam sikap serta cara mereka memandang kehidupan, baik yang nyata maupun gaib.
0 Komentar