Kisah Syeh Husein Membawa Sekepal Tanah dari Mekah ke Sukadana dan Matan Serta Tafsirnya

 


Kisah Syeh Husein Membawa Sekepal Tanah dari Mekah ke Sukadana dan Matan Serta Tafsirnya

Penulis : Miftahul Huda

 

Di kalangan generasi tua dan kalangan terbatas di Tanah Kayong, Kabupaten Kayong Utara, beredar sebuah cerita lisan yang menarik. Kisah ini menyebutkan kedatangan Syekh Syarif Husein dari Mekah ke Sukadana. Konon, ia membawa sekepal tanah suci dari Mekah serta beberapa kitab ajaran Islam. Tanah suci itu kemudian ditanam di sebuah kampung, dengan harapan mendatangkan kemuliaan, dan kampung itu pun dinamakan Kampung Mulia. Cerita ini lebih jauh mengklaim bahwa karena "tanah Mekah" sudah ada di Kampung Mulia, masyarakat setempat tidak lagi wajib menunaikan ibadah haji ke Mekah. Kitab-kitab yang dibawa Syekh Syarif Husein juga dianggap sebagai pelengkap ajaran Islam yang harus diamalkan.

Selain kisah di Sukadana, terdapat pula cerita serupa yang berasal dari Matan tua. Di sini, tokoh sentralnya adalah Sayyid Kubra (Tuanku Janggut Merah) dan Syekh Syarif Husein. Alkisah, di masa Kesultanan Matan, Syekh Syarif Husein membawakan tujuh buah batu dan sekepal tanah dari Mekah. Ini didasari keinginan Sayyid Kubra yang berhasrat meninggal dan dimakamkan di Mekah. Syekh Syarif Husein pun berkata kepada Sayyid Kubra bahwa sesungguhnya hakikat tanah itu satu, sama saja. Jika di Mekah dianggap suci dan penting, maka di Matan pun sama, sebab Tuhan yang menciptakan tidak memiliki maksud membeda-bedakan.

Namun, karena niatan Sayyid Kubra begitu kuat, hajatnya kemudian "disuntongkan" (dikabulkan) oleh Syekh Syarif Husein, meskipun hanya secara simbolis. Setelah Sayyid Kubra meninggal, makamnya ditaburi tanah sekepal dari Mekah beserta tujuh buah batu di atas pusaranya. Lebih lanjut, konon dari tanah Matan ini pula kelak dibawa oleh Raden Lekar untuk membuka hutan di Meliau dan mendirikan kerajaan di sana. Nama "Meliau" sendiri diyakini sebagai plesetan dari "tanah Mulia" yang berasal dari Mekah.

 

Menimbang Akurasi Sejarah dan Pesan Tersembunyi

Kedua kisah diatas memang sangat menarik untuk ditelisik. Namun, apakah cerita pertama tentang Syekh Syarif Husein di Sukadana dapat terkonfirmasi secara historis? Jika ditelusuri dari segi waktu, tokoh, dan peristiwa, ditemukan ketidaksesuaian informasi sejarah. Tokoh Syekh Husein yang disebut dalam cerita lisan ini, berdasarkan catatan sejarah, faktanya tidak berada di Sukadana atau Kampung Mulia, melainkan di Matan pada masa itu.

Begitu pula pada kisah kedua yang melibatkan sosok Syekh Syarif Husein dan Sayyid Kubra, dengan "tanah sekepal dari Mekah" sebagai objek utamanya. Walaupun dengan bumbu cerita yang agak berbeda, secara historis kisah tersebut tetaplah tergolong dongeng belaka.

Namun, keberadaan dongeng atau legenda semacam ini dalam tradisi lisan justru sangat kaya makna. Kita akan mencoba membedah kisah-kisah ini satu per satu, tidak hanya berdasarkan sumber sejarah, tetapi juga melalui tafsir dan pemaknaan simbolik. Mengapa cerita-cerita ini muncul di tengah masyarakat, dan apa pesan tersirat yang ingin disampaikan di dalamnya? Tulisan ini akan mengungkap bagaimana mitos berperan dalam membentuk identitas, legitimasi, dan adaptasi spiritual sebuah komunitas.

 


Antara Legenda dan Fakta Sejarah: Sosok Syekh Syamsuddin

 Meskipun demikian, ada sebuah fakta menarik. Di Mulia sendiri memang pernah ada tokoh agama yang datang dari Mekah pada masa kepemimpinan Panembahan Giri Mustika bergelar Sultan Muhammad Syafiuddien (1627-1677 M). Tokoh agama tersebut bernama Syekh Syamsuddin. Keterangan ini tercatat dalam salah satu manuskrip yang bersumber dari silsilah Kerajaan Sukadana tua. Manuskrip tersebut menyebutkan bahwa Syekh Syamsuddin datang dari Mekah membawa sebuah Al-Qur'an kecil, cincin, permata yaqut merah, serta satu surat gelaran (pengukuhan).

Namun, dalam manuskrip ini tidak ditemukan cerita tentang pengecualian kewajiban haji atau kisah Kampung Mulia yang berasal dari sekepal tanah Mekah. Justru, cerita tentang sekepal tanah mulia yang dibawa dan diletakkan untuk mendirikan kampung bernama Mulia, yang kelak menjadi Kerajaan Meliau, disebutkan dalam tradisi lisan masyarakatbahkan dalam buku Pasak Kapuas. Konon, tanah ini dibawa oleh Gusti Lekar, putra Panembahan Giri Mustika yang menikah dengan Encik Periuk, putri Kiyai Jaga, seorang tokoh Dayak di Sungai Kapuas.

 

Tafsir dan Makna Simbolik

Kisah lisan tentang Syekh Husein yang membawa "sekepal tanah Mekah" ke Kampung Mulia di Sukadana, Kayong Utara pada masa lampau, tidak terkonfirmasi secara historis. Namun, dari kacamata pemaknaan ini sangat menarik untuk dibahas.

"Sekepal tanah dari Mekah" adalah penanda  yang sangat kuat. Mekah sendiri adalah petanda bagi pusat keislaman dunia, kesucian, dan tempat rukun Islam, yakni ibadah Haji. Dengan membawa tanah dari Mekah, sosok Syekh Husein (atau siapa pun tokoh agama yang disimbolkan) menjadi agen yang mentransfer sesuatu yang sakral dan legitimasi keagamaan dari pusat Islam dunia ke wilayah lokal Kayong Utara  pada masa lampau.

Penanaman tanah suci di Kampung Mulia dan penamaan kampung "Mulia" secara simbolis mengubah tempat tersebut menjadi pusat spiritual yang baru, semacam "Mekah mini" di tingkat lokal. Ini adalah upaya untuk menciptakan geografi suci lokal yang memiliki kekuatan spiritual setara, atau setidaknya mendekati, pusat aslinya. Sosok ulama dari Mekah ini berfungsi sebagai simbol otoritas keagamaan dari luar yang memberikan validasi spiritual terhadap wilayah tersebut.

Aspek paling berani secara pemaknaan adalah klaim bahwa masyarakat tidak lagi wajib menunaikan ibadah haji karena adanya "tanah Mekah" di kampung mereka. Ini adalah simbol kuat dari keinginan akan otonomi spiritual. Mitos ini merepresentasikan upaya masyarakat untuk melepaskan diri dari ketergantungan mutlak pada pusat kekuasaan keagamaan yang jauh, baik secara geografis maupun otoritas.

Keberadaan kitab-kitab yang dibawa oleh tokoh ulama diatas juga penting. Ini menunjukkan bahwa ajaran Islam tidak hanya diterima begitu saja, tetapi juga dilokalisasi dan diadaptasi agar relevan dengan konteks sosial dan budaya setempat. Ada proses seleksi dan tafsir yang mungkin menghasilkan praktik keagamaan yang unik, yang lebih sesuai dengan kondisi lokal. Mitos ini bisa jadi merupakan bentuk resistensi kultural terhadap dominasi atau tuntutan dari pusat keagamaan global, menegaskan bahwa kemuliaan dan keberkahan bisa ditemukan secara lokal, tanpa harus menempuh perjalanan yang berat dan mahal ke Mekah.

Kisah ini juga menunjukkan bagaimana elemen-elemen baru (Islam dari Mekah) diintegrasikan dengan kepercayaan atau cara pandang lama. Ide tentang "tanah suci" yang membawa keberkahan dan meniadakan kewajiban tertentu adalah bentuk perpaduan kepercayaan, dimana konsep Islam diserap dan dimaknai ulang melalui budaya lokal yang sudah ada.

Mitos semacam ini berperan penting dalam membentuk identitas kolektif dan memperkuat kehidupan sosial dalam komunitas. Ia memberikan penjelasan tentang asal-usul tempat dan praktik keagamaan mereka, sekaligus membangun rasa kebanggaan dan keunikan lokal. Pada akhirnya, kisah ini menunjukkan adanya kearifan lokal dalam mengelola dan menyebarkan ajaran agama. Daripada memaksakan pemahaman yang kaku, masyarakat memilih jalur simbolisme untuk menegosiasikan hal-hal yang mungkin sulit dipraktikkan (seperti haji secara fisik) atau untuk menegaskan nilai-nilai yang mereka yakini penting ditingkat lokal.

Legitimasi raja/penguasa lokal pada kisah serupa di Matan yang melibatkan Sayyid Kubra dan Raden Lekar (putra Panembahan Giri Mustika yang mendirikan Meliau dari "tanah Mulia/Mekah") semakin memperkuat dimensi legitimasi politik. Kisah ini digunakan untuk meneguhkan kekuasaan raja atau pendiri kerajaan. Jika tanah yang menjadi dasar kerajaan mereka berasal dari Mekah, maka legitimasi spiritual dan otoritas politik mereka menjadi tak terbantahkan, seolah-olah mendapat restu langsung dari Tuhan.

Pernyataan Syekh Syarif Husein bahwa "tanah itu hakikatnya satu, sama saja" juga menjadi penanda kesadaran dan kematangan spritual untuk mengatasi keterbatasan fisik dan geografis, menegaskan bahwa esensi spiritual bisa hadir di mana saja.

Kisah "sekepal tanah Mekah" di Tanah Kayong, bersama dengan variasinya di Matan dan Sukadana, adalah sebuah kompleksitas simbol yang merefleksikan kebutuhan masyarakat dan penguasa lokal akan pengakuan spiritual, otonomi dari pusat keagamaan global, serta proses akulturasi budaya dan agama yang menghasilkan identitas keagamaan yang unik dan berakar kuat dalam konteks lokal. Mitos ini memberikan validasi bagi sebuah tempat atau penguasa, sekaligus menjadi cara bagi masyarakat untuk merasa "cukup" dalam keberagamaan mereka, tanpa harus selalu berkiblat pada pusat yang jauh secara fisik.

 

Jejak Kisah Tanah Mekah di Nusantara: Sebuah Akulturasi Simbolik

Kisah tentang segumpal tanah Mekah yang berhubungan dengan ritual ibadah haji ini ternyata bukan hanya ada di Tanah Kayong. Di Pulau Jawa, tradisi lisan serupa juga berkembang pada masa Sultan Agung dari Kesultanan Mataram Islam, meskipun dengan latar cerita yang berbeda. Objek "sekepal tanah dari Mekah" menjadi simbol utama dalam kedua narasi tersebut.

Tidak menutup kemungkinan, tradisi lisan mengenai sekepal tanah dari Mekah yang ada di Tanah Kayong ini diadopsi dari cerita yang populer di Tanah Jawa pada masa itu. Hal ini sangat memungkinkan, mengingat beberapa tradisi lisan di Tanah Kayong juga memiliki kemiripan dengan tradisi lisan di berbagai daerah di Nusantara. Sebut saja legenda Putri Junjung Buih, yang kisahnya tidak hanya ada di Tanah Kayong, tetapi juga di Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, bahkan Pulau Jawa. Ini menandakan adanya hubungan erat antardaerah di masa lalu, sehingga pertukaran budaya dan tradisi sangat memungkinkan terjadi.

Namun, mengapa cerita mengenai sekepal tanah dari Mekah ini diadopsi? Ini adalah pertanyaan yang sangat menarik untuk diulas. Untuk memahaminya, kita perlu melihat bagaimana tradisi ini berkembang dari daerah asalnya, yaitu pada masa Kesultanan Mataram Islam di bawah kepemimpinan Sultan Agung.

 

Sultan Agung dan Paradoks Mekah: Legitimasi Melalui Simbolisme

Secara singkat, dikisahkan bahwa Sultan Agung berkonflik dengan penguasa Mekah karena tidak diizinkan membuat tempat pemakaman dirinya. Kemudian, Sunan Kalijaga menawarkan jalan keluar: ia mengambil segumpal tanah dari makam nabi-nabi, membungkusnya dengan sepotong kain, lalu melemparnya ke arah Pulau Jawa. Kalijaga menjelaskan: di mana tanah itu jatuh, di situlah makam Sultan Agung kelak boleh dibangun. Gumpalan tanah itu jatuh di Bukit Imogiri, kawasan yang kemudian menjadi pemakaman raja-raja Mataram Islam. Sultan Agung akhirnya dimakamkan di sana.

Kisah konflik Sultan Agung dengan penguasa Mekah tentu saja adalah dongeng belaka. Namun, kisah itu berharga bukan karena akurasi faktanya, melainkan karena dapat menggambarkan paradoks Mekah di mata Sultan Agung. Cerita tersebut menggambarkan kemampuan magis Sultan Agung, termasuk dalam menaklukkan penguasa Mekah dengan cara-cara magis. Imogiri kemudian dilukiskan sebagai "Mekahnya Jawa". Kisah ini berkembang di sepanjang pemerintahan Sultan Agung, dimaksudkan untuk meneguhkan legitimasi keagamaan Mataram Islam.

Mekah jelas merupakan kota suci bagi umat Islam sedunia, tempat kelahiran Nabi Muhammad dan awal mula Islam, serta lokasi ibadah haji sebagai rukun Islam. Namun, keagungan dan otoritas Mekah yang amat dibutuhkan untuk memperkuat posisi Sultan Agung, bahkan banyak raja Nusantara saat itu, tidak serta-merta membuat mereka benar-benar pergi ke Mekah. Bahkan dikabarkan, setelah Sultan Agung, tak satu pun raja Kesultanan Mataram Islam yang menunaikan ibadah haji ke Mekah.

Keengganan pergi haji ke Mekah bukanlah semata persoalan otoritas yang dikhawatirkan akan menjadikan penguasa Nusantara tunduk pada Mekah. Ia juga bukan sekadar penolakan terhadap Mekah sebagai kota suci atau haji sebagai rukun Islam, apalagi hanya sebatas faktor kesulitan perjalanan. Melainkan, faktor utamanya adalah perkara mustahil menggeser geografi suci. Mekah dan Masjidil Haram beserta Ka'bah tetap dihormati dan dirindukan, tapi juga disikapi dengan kehati-hatian dalam konteks politik dan legitimasi kekuasaan lokal.

Jalan tengah tentu saja mesti ditemukan. Gumpalan tanah dari Mekah yang dilemparkan Kalijaga ke tanah Jawa, yang berujung pada pemilihan Imogiri sebagai pemakaman raja-raja Mataram Islam, atau menautkan Ka'bah dengan Masjid Demak oleh tangan Kalijaga, adalah bahasa simbolik untuk menegosiasikan "sengketa" mengenai geografi suci ini. Melalui kisah-kisah simbolik itu, Mekah dan Jawa dibayangkan sebagai dua geografi suci yang sama-sama penting, legitimasi dapat dibangun secara lokal tanpa harus bergantung sepenuhnya pada otoritas pusat yang jauh.

 

Relevansi Sejarah dan Budaya di Tanah Kayong

Maksud yang sama dalam pemaknaan kisah mengenai segumpal tanah Mekah yang ada di Tanah Kayong kiranya dapat diambil dari sumber kisah yang berasal dari Kesultanan Mataram. Tentunya, hal ini perlu dipahami sesuai konteks waktu, tempat, serta budaya yang berkembang pada masanya. Secara historis, kisah tersebut hanyalah dongeng, namun faktanya hubungan antara Kalimantan dan Pulau Jawa memang sudah terjalin sejak lama.

Khususnya Kerajaan Tanjungpura, hubungan dengan kerajaan-kerajaan besar di Jawa seperti Singhasari, Majapahit, Demak, bahkan Kesultanan Mataram, terus berlanjut hingga awal abad ke-18 sebelum kemudian memudar. Jejak arkeologi serta budaya masih dapat dilacak keberadaannya mengenai hubungan ini. Oleh karena itu, wajar apabila tradisi lisan mengenai sekepal tanah Mekah tersebut dihubungkan dengan tradisi lisan yang ada di Kesultanan Mataram Islam pada masa Sultan Agung.

 

Secara kebetulan pula, linimasa waktu kedua kisah ini memiliki kesesuaian. Sultan Agung di Mataram Islam hidup pada tahun 1593 dan wafat pada 1645 M. Sedangkan Panembahan Giri Mustika memerintah di Kerajaan Tanjungpura era Sukadana pada tahun 1627–1677 M. Persinggungan Mataram dan Sukadana juga pernah dicatat dalam tulisan H.J. De Graaf, yang merekam serangan Mataram ke Sukadana pada tahun 1622 M, yakni pada masa Ratu Mas Jaintan, ibu dari Panembahan Giri Mustika. Diduga, setelah penaklukan Sukadana ini, hubungan Sukadana dan Mataram Islam semakin erat, memungkinkan terjadinya pertukaran budaya dan gagasan, termasuk adopsi narasi simbolik seperti kisah tanah suci dari Mekah.

 

Sumber:

1.      Manuskrip Silsilah Raja Sukadana: Netscher

2.      Babad Nitik Ngayogyakarta

3.      Menuju Puncak Kejayaan Mataram: H.J. De Graaf

4.      Tutur lisan Masyarakat tanah Kayong

 

Posting Komentar

0 Komentar