PANTANG
PENTI DALAM BERLADANG DAN KEBIJAKSANAAN NENEK MOYANG MELAYU KAYONG KEPADA ALAM
Penulis : Miftahul Huda
Editor : Hasanan
Nara Sumber : Raden Jamrudin, Gusti Bujang Mas
Ilustrasi : Gemini Pro
![]() |
| Masyarkat Sedahan sedang menanam padi |
Kabupaten Kayong Utara (KKU) di Kalimantan Barat merupakan wilayah yang memiliki kekayaan alam dan dihuni oleh masyarakat dengan tradisi pertanian dan nelayan yang kental. Dimana praktik pertanian khususnya padi ladang terjalin erat dengan sistem sosial dan budaya. Pertanian di kawasan ini tidak semata-mata dipandang sebagai sistem mencari nafkah atau ekonomi, melainkan juga sebagai wujud dari pengetahuan yang kompleks. Tradisi berladang telah dibangun berabad-abad, mencerminkan nilai-nilai gotong royong, spiritualitas, dan kebersamaan.
Tradisi pantang penti atau pantang larang yang mengatur tentang pertanian saat ini menghadapi tantangan serius dari modernisasi. Berdasarkan data dilapangan menunjukkan bahwa KKU sedang berjuang melawan penurunan lahan pertanian dan konversi lahan yang mengakibatkan penurunan luas panen padi. Perkembangan ekonomi, pertambahan penduduk, dan industri telah mempercepat alih fungsi lahan pertanian pangan. Oleh karena itu, mendokumentasikan dan menganalisis pantang penti sangat penting sebelum terjadi erosi budaya dan pengetahuan lokal yang penting ini. Berikut Daftar pantang penti dalam berladang :
- PANTANG MENEBANG POHON TERTENTU
- PANTANG HULU PARANG
- PANTANG BELELAYUK
- PANTANG BEDEDARAH
- PANTANG TANAH RUNTUH
- PANTANG TUMAS
- PANTANG BINTANG RAHANG
- PANTANG BINTANG BELANTIK
- PANTANG PADI BUNTING AMPAR
- PANTANG TUGAL
- PANTANG BETUKAR TEKAP
- PANTANG MEMUTUS TALI TIMBONG
- PANTANG MENERIMA CABAI BERSAMBUT TANGAN
- PANTANG BERJALAN MELINTANG DI LADANG ORANG
- PANTANG MAKAN SAMBIL BERJALAN DI LADANG
- PANTANG BETENGKIO
- PANTANG HANTU RANGKAK
- PANTANG MEMANGGOR
- PANTANG DALAM BERANDEP (BEPENGARI)
- PANTANG MENEBANG POHON YANG DIJADIKAN TIMBONG
- PANTANG MENGURAI RAMBUT SAAT BERLADANG
- PANTANG MENANAM PADI PULUT (KETAN) DI POSISI ATAS PADI BIASA
- PANTANG NASI DEKAT PADI DI LANGKO
- PANTANG JEMUR PADI PADA HARI JUMAT
- PANTANG MEMATAHKAN BATU ASAH SECARA TIDAK SENGAJA
- PANTANG MERUSAK SARANG/RUMAH BINATANG
- PANTANGAN MEMBUKA LAHAN DI AREA TERTENTU
Dalam masyarakat tradisional, mitos dan spiritualitas memainkan peran penting dalam mengatur interaksi manusia dengan lingkungannya. Mitos berfungsi untuk mengukuhkan sesuatu yang bernilai sosial dan menjadi pembatas tingkah laku, sehingga anggota masyarakat saling mengingatkan untuk bertindak sesuai dengan norma yang berlaku.
Meskipun pantang penti sering diyakini kebenarannya secara mitis , kajian mendalam menunjukkan bahwa petuah-petuah ini menyimpan nilai filosofis yang tinggi dan terkait langsung dengan keberlanjutan lingkungan hidup. Artinya, di balik dimensi spiritual, terdapat fungsi yang tersembunyi.
Sebagai contoh, pantangan yang melarang perusakan sarang semut secara sembarangan atau larangan membuang sampah di tempat-tempat tertentu, secara lahiriah adalah penghormatan terhadap ciptaan Tuhan, namun secara praktis, larangan tersebut memastikan kondisi ladang yang baik, mencegah pencemaran, dan melindungi ekosistem yang penting bagi kesuburan tanah. Dengan demikian, pantang penti bertindak sebagai pedoman tak tertulis untuk menjaga kelestarian alam dan mencegah kerusakan lingkungan.
Dalam tradisi masyarakat yang
masih erat hubungannya dengan pertanian dan ladang, di daerah di kayong utara,
terdapat sebuah pantangan yaitu Pantang
Hulu Parang. Istilah ini merujuk pada kebiasaan untuk mengistirahatkan peralatan kerja,
khususnya setelah aktivitas "memanggor" (membersihkan ladang dari
semak belukar atau membuka lahan baru). Setelah menyelesaikan pekerjaan berat
tersebut, masyarakat memiliki jeda beberapa hari untuk tidak menggunakan
peralatan berladang seperti parang, cangkul, atau alat pertanian lainnya.
Pesan moral di balik Pantang
Hulu Parang ini sangatlah mendalam. Tujuan utamanya adalah agar manusia yang bekerja juga ikut
beristirahat dahulu. Setelah mengerahkan tenaga dan pikiran untuk tugas
yang berat, tubuh dan pikiran memerlukan jeda untuk pulih. Dengan memberikan
waktu istirahat yang cukup, seseorang dapat mengembalikan
energi, memulihkan fokus, dan menghindari kejenuhan atau kelelahan berlebihan.
PANTANG MENEBANG POHON TERTENTU
Dalam kearifan lokal masyarakat
tanah Kayong, terdapat pantangan keras terhadap penebangan pohon-pohon
tertentu, seperti pohon kayu Are,
Jejawi (sejenis beringin/ara), dan Beringin. Pohon-pohon ini seringkali
dianggap keramat dan dijauhi dari aktivitas penebangan. Dipercaya bahwa jika
pohon-pohon tersebut ditebang, maka penebangnya akan terkena
badi (kutukan) karena pohon itu adalah sarang
hantu atau tempat tinggal makhluk gaib.
Alasan loginya
bahwa Pohon-pohon seperti Beringin,
Jejawi, dan Kayu Are adalah sumber
kehidupan dan ekosistem yang vital. Selain itu Pohon
Beringin/Jejawi seringkali merupakan pohon induk di
hutan, berfungsi sebagai tempat bersarang dan
mencari makan bagi berbagai jenis makhluk hidup, termasuk burung,
kelelawar, dan serangga. Buahnya menjadi sumber makanan penting bagi satwa
liar.
PANTANG BELELAYUK
Dalam masyarakat yang hidup
dekat dengan alam, seperti di beberapa wilayah kayong utara dan Simpang Matan,
terdapat sebuah tradisi yang dipegang teguh yaitu Pantang
Belelayuk. Pantangan ini merujuk
pada larangan untuk memetik atau
mengambil tumbuhan apa pun selama kurun waktu tiga hari, untuk keperluan
apa pun.
Mitos yang melingkupi pantangan
ini sangat berkaitan erat dengan keberlangsungan hidup. Konon, jika Pantang
Belelayuk dilanggar, maka tanaman yang baru
ditanam akan layu atau gagal tumbuh. Pantangan ini umumnya diberlakukan
setelah pelaksanaan ritual yang berkaitan dengan tradisi berladang (pertanian)
atau melaut (perikanan). Pemberlakuan pantangan setelah ritual menunjukkan
adanya pengkhususuan terhadap waktu dan upaya menjaga prosesi sakral tersebut.
Pesan moralnya sangat jelas,
bahwa petani atau masyarakat didorong
untuk melakukan jeda dan tidak "membunuh" atau
mengambil makhluk tumbuhan selama periode waktu tertentu. Ini adalah
bentuk penghormatan dan pengakuan bahwa alam juga membutuhkan waktu untuk
memulihkan diri dan beradaptasi setelah sebuah ritual besar atau aktivitas
eksploitasi dimulai. Selain itu, setelah
ritual beladang (bercocok tanam) atau melaut, proses penanaman atau pelayaran dianggap masih
rentan dan berada dalam tahap transisi spiritual. Pantang Belelayuk memastikan
manusia memberikan ruang bagi energi atau berkah dari ritual tersebut untuk
bekerja tanpa gangguan, menjamin hasil yang optimal.
PANTANG BEDEDARAH
Sejalan dengan Pantang Belelayuk,
masyarakat tradisional di beberapa wilayah kayong utara, terutama yang masih
sangat bergantung pada sumber daya alam, juga mengenal Pantang Bededarah. Pantangan ini merujuk pada
larangan untuk mengonsumsi atau berburu
hewan yang bernyawa, seperti ikan, rusa, atau makhluk hidup lainnya,
selama tiga hari setelah pelaksanaan ritual yang berkaitan dengan tradisi
berladang (pertanian) atau melaut (perikanan).
Nilai moral dari Pantang
Bededarah ini adalah untuk menjaga
keberlangsungan habitat dan memberikan jeda waktu bagi ekosistem. Setelah
sebuah ritual yang menandai dimulainya aktivitas eksploitasi (seperti berladang
atau melaut), Pantang Bededarah berfungsi sebagai pengingat untuk memberi jeda bagi hewan-hewan
liar atau hasil laut. Ini adalah bentuk pengakuan bahwa alam memiliki siklusnya
sendiri dan membutuhkan waktu untuk "bernafas" atau memulihkan
populasi.
Pantangan ini juga menanamkan
rasa hormat terhadap setiap makhluk hidup. Dengan tidak mengonsumsi daging
selama periode tertentu, masyarakat diingatkan untuk tidak bersikap serakah dan
menghargai keberadaan hewan sebagai bagian integral dari ekosistem. Setelah
ritual penting, pantangan ini juga dapat diinterpretasikan sebagai periode
penyucian diri dan lingkungan. Dengan menahan diri dari konsumsi makhluk
bernyawa, masyarakat membersihkan aspek spiritual dan fisik dari hubungan
mereka dengan alam.
PANTANG TANAH RUNTUH
Pantangan ini diberlakukan
ketika terjadi tragedi meninggalnya salah seorang warga di kampung. Pada saat duka
ini, seluruh warga tidak diperbolehkan
untuk mengerjakan ladang (atau yang disebut 'lako'). Jika pantangan ini
dilanggar, dipercaya bahwa ladang
tidak akan berhasil (panen gagal) dan akan ditunggui oleh penyakit.
Konsekuensi ini memberikan kerugian materi dan ancaman kesehatan , hal ini betapa
seriusnya pelanggaran terhadap pantangan ini dalam pandangan masyarakat.
Pesan moral utamanya adalah
untuk memastikan seluruh masyarakat ikut
berbela sungkawa dan menunjukkan solidaritas terhadap keluarga yang
berduka. Menghentikan aktivitas berladang adalah simbol nyata bahwa komunitas
merasakan kehilangan yang sama dan memberikan waktu serta dukungan penuh kepada
mereka yang tertimpa musibah.
PANTANG TUMAS
Dalam tradisi masyarakat masa dahulu yang masih erat dengan siklus
alam, seperti komunitas peladang, terdapat sebuah pantangan yang sarat akan
makna sosial dan filosofis yaitu Pantang
Tumas. Pantangan ini berlaku ketika terjadi bulan
purnama. Masyarakat dilarang untuk berladang pada keesokan harinya
setelah malam bulan purnama tersebut.
Mitos yang mengiringi Pantang
Tumas ini adalah sebuah peringatan keras: jika pantangan ini dilanggar, maka risikonya adalah hasil panen akan gagal.
Namun, dibalik konsekuensi mistis gagal
panen, tersimpan pesan moral dan kearifan sosial
yaitu ; Pada zaman dahulu, malam bulan purnama (terang bulan) adalah momen kebahagiaan dan spesial.
Cahaya bulan yang terang benderang menjadi kesempatan langka bagi masyarakat
untuk berkumpul, bersosialisasi, bercerita, bermain, dan menikmati kebersamaan
secara santai bersama keluarga dan tetangga kiri-kanan. Pantang Tumas adalah
cara untuk memastikan bahwa masyarakat menghargai dan menikmati momen spesial
ini sepenuhnya, tanpa terbebani pikiran tentang pekerjaan ladang.
Setelah menikmati momen
kebersamaan dan kegembiraan yang spesial semalam suntuk, wajar jika keesokan
harinya tubuh dan pikiran akan merasa lelah. Oleh karena itu, jeda dari
aktivitas berladang diberikan untuk memulihkan
diri setelah menikmati kebersamaan. Pantangan ini menegaskan pentingnya
keseimbangan antara kerja keras dan kehidupan sosial. Masyarakat diingatkan
bahwa ada waktu untuk bekerja dan ada waktu untuk bersosialisasi, merayakan,
dan beristirahat. Keseimbangan ini penting untuk menjaga kesehatan fisik,
mental, dan keharmonisan komunitas.
Pada zaman dahulu, menikmati
terang bulan adalah hal yang sangat
spesial karena keterbatasan penerangan. Namun, pada zaman sekarang,
dengan adanya listrik dan berbagai hiburan modern, terang bulan seringkali bukan lagi hal yang spesial,
bahkan banyak orang yang tidak lagi menyadarinya atau tidak lagi mengaitkannya
dengan momen kebersamaan yang hangat. Hal ini menunjukkan pergeseran nilai dan
pengalaman hidup masyarakat modern yang semakin terpisah dari alam.
Bintang
Rahang digambarkan memiliki bentuk yang menyerupai tengkorak, sehingga
masyarakat meyakini kemunculannya sebagai pertanda buruk. Salah satunya adalah
turunnya sengkale, yaitu berupa kutukan hama atau penyakit yang bisa mengganggu
pertanian maupun kehidupan sehari-hari.
Untuk
menghindari pengaruh buruk tersebut, biasanya dilakukan ritual berupa doa
selamat atau doa kasah, sebagai wujud permohonan perlindungan kepada Tuhan agar
terhindar dari malapetaka. Selain sebagai sebuah kepercayaan, pantangan ini
juga mengandung pesan moral yang dapat dijadikan pedoman hidup, bahwa
mengingatkan agar pekerjaan, khususnya di ladang, dilakukan pada waktu yang
tepat, melatih masyarakat agar selalu waspada dalam setiap tindakan, menegaskan
pentingnya doa dan memohon perlindungan Ilahi dalam menjalani kehidupan.
PANTANGAN BINTANG BELANTIK
Dalam
tradisi masyarakat Kayong, terdapat kepercayaan mengenai kemunculan Bintang
Belantik. Ketika bintang ini muncul di langit malam, dipercaya sebagai pertanda
akan datangnya “hama babi” yang dapat merusak tanaman di ladang. Sebagai bentuk
antisipasi, masyarakat biasanya melakukan berbagai upaya perlindungan, seperti
memagari ladang, berjaga pada malam hari, atau melaksanakan usaha lain yang
dianggap mampu mencegah serangan hama tersebut.
Di balik
pantangan ini, tersimpan pesan moral yang penting, yaitu bahwa dalam bertani masyarakat harus selalu waspada terhadap
tanda-tanda alam yang sudah ada. Dengan memperhatikan tanda tersebut, petani
dapat lebih siap menghadapi ancaman dan menjaga hasil pertaniannya.
PANTANG PADI BUNTING AMPAR
Dalam tradisi pertanian
masyarakat yang masih kental dengan kearifan lokal, terutama para peladang,
terdapat sebuah pantangan yang berkaitan dengan perlindungan tanaman yaitu Pantang
Padi Bunting Ampar. Istilah "padi bunting ampar" merujuk pada
kondisi padi yang sedang berisi atau berbuah lebat dan menghampar luas di
ladang.
Pada kondisi padi yang sedang
"bunting ampar" ini, terdapat pantangan keras, yaitu tidak boleh menyuluh (menyinari dengan obor
atau cahaya lampu) ke arah ladang padi. Mitos yang menyertai larangan
ini adalah jika pantangan tersebut dilanggar, maka ladang padi akan terkena hama walang sangit, atau
yang oleh masyarakat setempat sering disebut "pempangau".
Walang sangit atau pempangau adalah jenis serangga hama padi
yang dikenal aktif mencari makan di malam hari. Serangga ini memiliki
ketertarikan kuat terhadap cahaya. Selain itu ketika seseorang menyuluh atau
menyentari ladang padi di malam hari, cahaya lampu akan menarik perhatian serangga hama seperti
walang sangit. Serangga-serangga ini akan mengejar sumber cahaya, dan ketika
sampai di ladang, mereka akan "mengetahui" keberadaan padi yang
sedang berisi dan mulai memakannya.
PANTANG TUGAL
Dalam praktik berladang
tradisional, khususnya saat menanam padi, alat bernama tugal memiliki peran penting. Tugal adalah
tongkat kayu atau bambu yang ujungnya runcing, digunakan untuk membuat lubang
di tanah sebagai tempat menanam benih padi. Terkait dengan alat ini, terdapat
sebuah pantangan yang dipegang teguh oleh masyarakat yang diberi nama Pantang Tugal.
Pantangan ini menyatakan bahwa saat menyimpan tugal, mata penugal
(bagian yang runcing) harus ditancapkan ke tanah. Jika pantangan ini
dilanggar dan tugal diletakkan sembarangan (tidak ditancapkan ke tanah), maka
dipercaya padi yang ditanam akan mati atau gagal
tumbuh.
Penugal yang lazimnya terbuat
dari kayu atau bambu memang memiliki ujung yang runcing dan tajam. Jika
diletakkan sembarangan, misalnya rebah di tanah atau bersandar di dinding, ujungnya yang runcing berpotensi besar
untuk melukai orang. Anak-anak yang bermain atau orang dewasa yang tidak
berhati-hati bisa terinjak atau tertusuk, menyebabkan cedera serius.
Menancapkannya ke tanah adalah cara paling aman untuk memastikan ujung runcing
tidak membahayakan siapa pun.
PANTANG BETUKAR TEKAP
Dalam tradisi pertanian
masyarakat, khususnya pada kegiatan "ngetam" (memanen padi secara
tradisional), terdapat sebuah pantangan yaitu Pantang
Betukar Tekap. Pantangan ini berlaku ketika aktivitas ngetam dilakukan
secara bersamaan atau minimal oleh dua orang dalam satu area. "Betukar
tekap" melarang seseorang untuk memanen
bagian padi yang berada tepat di samping area kerja rekan sebelahnya,
dan larangan ini berlaku sebaliknya. Artinya, setiap pemanen harus fokus pada
area kerjanya masing-masing dan tidak saling mengambil jatah.
Jika pantangan ini dilanggar,
dipercaya bahwa orang yang melakukannya bisa mengalami
sakit kepala dan muntah. Secara rasional, larangan ini bertujuan agar
setiap pekerja dapat fokus pada area
kerjanya sendiri. Aktivitas ngetam membutuhkan ketelitian dan
konsentrasi untuk memotong tangkai padi dengan benar. Jika seseorang
terus-menerus menoleh atau mencoba merebut bagian padi di sampingnya, fokusnya
akan terpecah, yang bisa mengakibatkan pekerjaan kurang rapi atau bahkan lebih
lambat.
Dalam tradisi memanen padi
secara tradisional di Kayong utara, yang dikenal dengan istilah
"ngetam", masyarakat memiliki sebuah alat bantu dan aturan yang
penting: tali timbong. Tali timbong adalah
tali pembatas yang sengaja dibuat untuk menandai batas
area kerja setiap pemanen atau kelompok dalam satu ladang. Terkait
dengan ini, terdapat sebuah pantangan kerasyaitu Pantang
Memutus Tali Timbong saat ngetam.
Jika pantangan ini dilanggar
dan seseorang memutus tali timbong, dipercaya bisa berakibat kesialan. Kesialan ini bisa
beragam bentuknya, mulai dari hasil panen yang buruk, kecelakaan saat bekerja,
hingga nasib yang kurang beruntung dalam kehidupan sehari-hari.
Pesan moral utamanya adalah
bahwa dalam bekerja, seseorang harus
teratur dan memiliki kontrol. Tali timbong berfungsi sebagai visualisasi
nyata dari batasan dan aturan. Memutusnya secara sembarangan menunjukkan
perilaku tidak disiplin, tidak menghargai aturan, dan melanggar batas yang
telah disepakati. Secara praktis, tali timbong sangat membantu dalam mengatur dan membagi area panen
agar pekerjaan berjalan efisien. Dengan adanya batas yang jelas, setiap pemanen
tahu persis bagian mana yang harus dikerjakan, menghindari tumpang tindih atau
area yang terlewat. Memutus tali ini akan merusak sistem pembagian area,
menyebabkan kekacauan.
PANTANG MENERIMA CABAI BERSAMBUT TANGAN
Dalam tradisi masyarakat kayong,
terdapat pantangan unik terkait etika menerima pemberian, salah satunya adalah Pantang Menerima Cabai Bersambut Tangan.
Pantangan ini menyatakan bahwa ketika seseorang diberi cabai (terutama dalam
jumlah kecil atau sebagai bumbu), ia seharusnya
tidak langsung menyambutnya dengan tangan kosong, melainkan harus
diletakkan terlebih dahulu di suatu wadah atau alas. Jika pantangan ini
dilanggar, dipercaya bahwa orang yang melakukannya bisa
menjadi "buah omongan" atau sasaran gunjingan orang lain
dengan hal-hal yang tidak baik. Konsekuensi ini sangat relevan dalam
masyarakat, dimana reputasi dan pandangan sosial memiliki bobot yang besar.
Cabai, terutama
cabai segar, seringkali mengandung kotoran, getah, atau sisa-sisa tanah yang
mungkin tidak terlihat. Menerima langsung dengan tangan dan kemudian tangan
tersebut menyentuh wajah atau bagian tubuh lain dapat menyebarkan kotoran atau
menyebabkan iritasi. Ini juga bisa menjadi masalah higienis jika tangan
tersebut kemudian menyentuh makanan lain. Dengan meminta wadah, kebersihan
lebih terjaga.
Pantangan ini secara tegas
melarang seseorang untuk melewati ladang orang lain dengan cara memotong jalur
atau melintang di antara tanaman. Jika pantangan ini dilanggar, dipercaya dapat
"memutuskan nyawa orang".
Ladang padi,
terutama saat tanaman sedang tumbuh subur atau mulai berbuah, sangatlah rentan.
Berjalan melintang di antara barisan padi dapat menginjak, merusak, atau
menggoyangkan tanaman yang sedang tumbuh. Hal ini bisa menyebabkan padi roboh,
tunas patah, atau bunga dan buah rontok, yang pada akhirnya akan mengurangi
hasil panen secara signifikan. Selain itu berjalan melintang di ladang orang
lain tanpa izin atau kebutuhan mendesak adalah bentuk ketidakhormatan terhadap
jerih payah dan hak milik petani. Ini mengabaikan usaha yang telah dicurahkan
untuk menumbuhkan tanaman tersebut.
Kepercayaan
mengenai "memutuskan nyawa orang" dapat diartikan sebagai memutuskan
harapan hidup atau mata pencarian petani. Rusaknya tanaman berarti hilangnya
potensi makanan dan pendapatan, yang bagi si pemilik sama artinya dengan
membahayakan kelangsungan hidup.
PANTANG MAKAN SAMBIL BERJALAN DI LADANG
Dalam tradisi masyarakat
peladang di kayong, terdapat sebuah Pantang
Makan Sambil Berjalan di Ladang. Larangan ini secara tegas melarang
seseorang untuk mengonsumsi makanan sambil bergerak di antara tanaman ladang. Dipercaya
bahwa jika pantangan ini dilanggar, maka orang yang melakukannya akan "diikutkan kera".
Ketika seseorang
makan sambil berjalan di ladang, sangat besar kemungkinan sisa-sisa makanan
akan tercecer atau tumpah. Sisa makanan yang tercecer ini, sekecil apa pun,
akan mengundang berbagai jenis hama tanaman, tidak hanya kera tetapi juga
tikus, serangga, burung, atau hewan lain yang tertarik pada bau makanan.
Kehadiran hama ini dapat merusak tanaman padi atau palawija lainnya, mengurangi
hasil panen secara signifikan.
Secara etika dan
budaya, makan sambil berjalan dianggap sebagai perilaku yang kurang beradab dan
seringkali disamakan dengan cara makan hewan. Hewan cenderung makan di mana
saja dan kapan saja tanpa memperhatikan kebersihan atau tatanan. Pantangan ini
secara halus mengingatkan manusia untuk makan dengan tenang, duduk, dan menjaga
kebersihan, yang merupakan ciri khas adab manusia berakal.
Istilah "betengkio"
merujuk pada berteriak dengan kalimat atau ucapan
yang tidak jelas, kasar, atau tidak sopan di ladang. Jika pantangan ini
dilanggar, maka ladang akan didatangi oleh "hantu
penyelawe". Akibatnya, hantu penyelawe ini akan menghisap sari pati hasil panen padi,
menyebabkan hasil panen tidak berkah.
Pesan moral utamanya adalah
tentang etika berbahasa dan sopan santun.
Berteriak-teriak dengan kata-kata tidak jelas atau kasar di tempat umum seperti
ladang, yang seringkali berdekatan dengan ladang orang lain, adalah perilaku
yang tidak pantas.
PANTANG HANTU RANGKAK
Hantu Rangkak dipercaya sebagai
makhluk gaib yang gemar memakan padi yang sudah menguning dan siap panen. Inti
dari pantangan ini adalah sebuah ritual persembahan: wajib memberikan nasi empat kepal dan ikan asin
yang diletakkan di empat penjuru ladang.
Mitosnya, persembahan ini bertujuan agar Hantu Rangkak tidak memakan padi yang
siap panen. Ritual serupa juga dilakukan di dalam rumah, seperti di penjuru
dapur atau area perapian.
Pesan moral yang tersirat di
sini adalah bahwa persembahan nasi kepal dan ikan asin berfungsi sebagai pengalih perhatian bagi hama yang
sebenarnya. Hama yang hadir (seperti tikus, burung, atau serangga besar) akan
cenderung memakan persembahan yang mudah dijangkau dan menarik daripada merusak
padi yang masih berdiri.
PANTANG MEMANGGOR
Memanggor adalah aktivitas membuka lahan atau membersihkan tanah
yang masih berupa semak belukar untuk dijadikan ladang pertanian.
Pantangan dalam memanggor wajib disertai
dengan ritual tertentu. Jika ritual dalam memanggor tidak dilakukan,
maka dipercaya bahwa lahan tersebut akan
"kena kacau bende". Istilah "kacau bende" di sini
merujuk pada gangguan dari entitas gaib berupa hantu
atau binatang hutan yang akan mengacaukan atau merusak ladang yang baru
dibuka.
Pesan moral utamanya adalah
tentang etika menghargai makhluk lain yang ada
di sekitar lahan yang akan dibuka. Sebelum manusia datang dan menguasai
lahan, area tersebut adalah habitat bagi berbagai tumbuhan dan hewan. Ritual
memanggor adalah bentuk permisi dan
penghormatan kepada "penunggu" atau "penghuni" asli
lahan tersebut, baik yang terlihat maupun yang tidak terlihat.
Dalam masyarakat pertanian,
khususnya di daerah tanah Kayong yang masih memegang teguh tradisi kebersamaan
dengan sistem "berandep" atau "bepengari". Berandep
adalah aktivitas tolong-menolong secara bergiliran dalam mengerjakan ladang.
Contohnya, jika hari ini si A dibantu oleh 5 orang tetangga atau kerabat, maka si
A memiliki kewajiban untuk membalas budi dengan membantu 5 orang tersebut di
kemudian hari sesuai jadwal giliran.
Prinsip dasar dari
berandep adalah timbal balik. Jika seseorang telah menerima bantuan tenaga dari
orang lain, ia wajib membalas membantu orang-orang tersebut saat tiba
gilirannya. Apabila seseorang tidak
dapat memenuhi kewajiban untuk membalas membantu saat gilirannya tiba (misalnya
karena sakit, ada keperluan mendesak, atau alasan lain yang dapat diterima), ia
diwajibkan untuk membayar dengan tenaga. Artinya, ia harus mencari atau menyewa
orang lain untuk mewakilinya dalam membantu pekerjaan ladang orang yang
seharusnya ia bantu.
Sistem berandep adalah perekat
sosial yang sangat kuat. Ini menumbuhkan rasa saling memiliki, tolong-menolong,
dan ketergantungan positif antaranggota masyarakat. Dalam sistem ini, pekerjaan
berat seperti membuka ladang atau panen dapat diselesaikan lebih cepat dan
efisien dengan tenaga ramai, yang sulit dilakukan jika hanya mengandalkan
tenaga sendiri. Selain itu setiap
anggota diajarkan untuk bertanggung jawab atas kewajibannya. Jika tidak bisa
hadir, ada tanggung jawab untuk mencari pengganti, menunjukkan komitmen
terhadap kesepakatan komunal.
PANTANG MENEBANG POHON YANG DIJADIKAN TIMBONG
Dalam tradisi masyarakat Kayong
yang hidup berdampingan dengan alam, terutama yang menggantungkan hidup pada
sumber daya hutan dan ladang, terdapat sebuah pantangan yang sangat penting: Pantang Menebang Pohon yang dijadikan Timbong.
timbong bukanlah sekadar pohon biasa,
melainkan pohon patokan atau penanda yang
sengaja dipertahankan keberadaannya karena fungsinya yang bermanfaat.
Mitos yang sering
menyertainya adalah bahwa menebang pohon timbong dapat membawa kesialan,
penyakit, atau gangguan pada kehidupan, karena telah merusak "rumah"
bagi makhluk lain. Pohon yang dijadikan timbong adalah pohon yang dihuni oleh
hewan-hewan bermanfaat seperti sarang burung, lalau (lebah). Hewan-hewan ini bermanfaat
bagi alam dan manusia. Mislkan Burung:
Berperan sebagai predator hama serangga dan penyebar benih tanaman. kemudian Lebah
sebagai penghasil madu dan penyerbukan alami.
Dengan
mempertahankan pohon yang di jadikan timbong, masyarakat secara sadar atau
tidak langsung menjaga keseimbangan ekosistem di sekitar ladang. Kehadiran
hewan-hewan bermanfaat ini secara alami membantu dalam pengendalian hama
tanaman dan peningkatan produktivitas pertanian melalui penyerbukan. Menebang
pohon timbong berarti menghancurkan habitat mereka.
PANTANG MENGURAI RAMBUT SAAT BERLADANG
Dalam tradisi masyarakat
peladang, terutama kaum perempuan yang berambut panjang, terdapat sebuah
pantangan dilarang
Mengurai Rambut Saat Berladang. Larangan ini menyarankan agar rambut
tetap terikat atau tertata rapi selama bekerja. Dipercaya bahwa jika rambut
diurai saat berladang, maka hama tikus akan
menjadi banyak di ladang tersebut.
Alasan rasionalnya
adalah Rambut yang diurai, terutama yang
panjang, dapat dengan mudah dihinggapi oleh berbagai serangga ladang seperti
kutu, atau serangga kecil lainnya. Kemudian Ladang adalah lingkungan yang penuh
debu, tanah, serangga, dan kotoran. Rambut yang terurai panjang akan mudah
kotor, kusut, dan menjadi sarang kuman. Ini dapat menimbulkan masalah kesehatan
seperti gatal-gatal, infeksi kulit kepala, atau bahkan penyebaran penyakit.
PANTANG MENANAM PADI PULUT (KETAN) DI POSISI ATAS PADI BIASA
Pantang
Menanam Padi Pulut (Ketan) Ditandor/ Ditanam di Posisi Atas Padi Biasa. Artinya, dalam satu area
ladang, jika ada kemiringan tanah, padi pulut tidak boleh ditempatkan di bagian
yang lebih tinggi daripada padi biasa. Padi pulut harus ditanam di posisi yang
lebih rendah atau terpisah jelas arealnya. Jika pantangan ini dilanggar,
dipercaya bahwa anak bisa menjadi pendek umur.
Padi
pulut (ketan) dan padi biasa memiliki karakteristik yang berbeda, baik dari
segi rasa, tekstur, maupun cara pengolahan setelah panen. Jika ditanam terlalu
dekat atau tumpang tindih, terutama di area yang berbeda kemiringan, ada risiko
pencampuran benih atau penyerbukan silang.
PANTANG NASI DEKAT PADI DI LANGKO
Dalam tradisi panen padi
masyarakat, khususnya saat hasil panen sementara diletakkan di
"langko" (gubuk atau tempat penyimpanan sementara padi), terdapat
sebuah pantangan penting yaitu Pantang
Meletakkan Nasi di Dekat Padi yang Telah Dipanen. Dipercaya bahwa jika
nasi diletakkan di dekat padi di langko, maka hama
tikus akan banyak berdatangan dan mengganggu padi. Konsekuensi ini tentu
sangat merugikan, mengingat tikus dapat merusak jumlah dan kualitas hasil
panen.
alasan
utama dan paling rasional adalah; Nasi,
sebagai makanan yang sudah dimasak, memiliki aroma yang kuat dan sangat disukai
oleh tikus, serangga, dan hewan pengerat lainnya. Meletakkan nasi di dekat
tumpukan padi yang baru dipanen sama saja dengan mengundang hama secara
langsung ke tempat penyimpanan utama. Hewan-hewan ini, setelah tertarik pada
nasi, kemungkinan besar akan turut merusak dan memakan padi yang ada di langko.
PANTANG JEMUR PADI PADA HARI JUMAT
Dalam tradisi masyarakat Kayong
yang beragama Islam, terdapat sebuah pantangan yang unik yaitu Pantang Menjemur Padi pada Hari Jumat.
Larangan ini secara spesifik berlaku untuk kegiatan menjemur padi yang baru
dipanen pada hari Jumat. Mitos yang menyertai pantangan ini adalah bahwa jika
padi dijemur pada hari Jumat, maka dipercaya orang yang melakukannya akan "cepat tua".
Ini
adalah alasan utama dan paling rasional dalam konteks masyarakat Muslim. Hari
Jumat adalah hari yang istimewa dan memiliki keutamaan tinggi dalam Islam. Umat
Muslim sangat dianjurkan untuk melaksanakan salat Jumat (bagi laki-laki) secara
berjemaah. Aktivitas menjemur padi yang biasanya memakan waktu, tenaga, dan
konsentrasi, dikhawatirkan akan mengganggu kekhusyukan dan kesempatan untuk
beribadah pada hari yang mulia ini.
PANTANG MEMATAHKAN BATU ASAH SECARA TIDAK SENGAJA
Masyarakat yang masih
mengandalkan alat-alat manual dalam kehidupan sehari-hari, seperti parang atau
golok, batu asah memiliki peran yang
sangat penting. Alat ini bukan hanya sekadar benda mati, melainkan dihormati
karena fungsinya untuk mngasah. Oleh karena itu, terdapat pantangan khusus
terkait dengan benda ini yaitu Pantang
Mematahkan Batu Asah Secara Tidak Sengaja.
Jika seseorang mematahkan batu
asah secara tidak sengaja dan tidak
segera diadakan ritual pengobatan "tepung tawar", maka
dipercaya orang tersebut bisa mengalami
kegilaan. Pesan moral utamanya adalah agar seseorang melakukan setiap
pekerjaan secara hati-hati dan penuh konsentrasi. Mematahkannya, meskipun tidak
sengaja, menunjukkan kurangnya perhatian atau kecerobohan.
PANTANG MERUSAK SARANG/RUMAH BINATANG
Dalam kearifan lokal masyarakat
peladang di tanah kayong, terdapat sebuah pantangan yang kuat dan sarat akan
nilai-nilai yaitu Pantang Merusak Sarang/Rumah Binatang.
Larangan ini secara tegas melarang tindakan merusak tempat tinggal makhluk
hidup, baik itu sarang rayap, terumbuk ketam, sarang burung, gubuk tupai,
lubang ular, atau rumah-rumah hewan lainnya. Jika pantangan ini dilanggar,
dipercaya bahwa orang yang melakukannya akan terkena
badi (kutukan) yang mengakibatkan
sakit.
Pesan
moralnya adalah tentang empati dan penghargaan terhadap kehidupan makhluk lain.
Konsep "rumah makhluk hidup sama dengan kita, jika rumah diganggu
bagaimana perasaannya" adalah inti dari pantangan ini. Manusia diajarkan
untuk memahami bahwa setiap makhluk berhak atas tempat tinggalnya dan merasa
aman di sana, sama seperti manusia sendiri. Merusak rumah mereka adalah tindakan
yang tidak adil dan tidak berperikemanusiaan.
PANTANGAN MEMBUKA LAHAN DI AREA TERTENTU
Masyarakat tanah kayong
khususnya simpang dengan pengalaman panjang berinteraksi dengan alam, kemduian
membuat aturan pantangan dalam membuka lahan. Pantangan ini tidak hanya sekadar
kepercayaan, tetapi juga sarat dengan kearifan lokasl sebagai bentuk
pencegahan. Ada beberapa areal yang pantang untuk dijadikan ladang atau
pemukiman, yaitu lidah tanah (cekungan bekas sungai),
kubang babi (tempat mandi hewan), penumbuk arus (tanjung), tanah tumbuh
(terumbu/sarang hewan), dan mata air.
Lidah Tanah (Cekungan Bekas
Sungai)
Mitos: Lidah tanah diyakini sebagai
tempat bersarang binatang berbisa. Selain itu, mitosnya tanah lidah tanah ini
"sakal" atau "sial", yang berarti setiap
usaha pertanian di area tersebut akan selalu gagal.
Cekungan bekas sungai memang
cenderung lembap dan sering menjadi tempat
favorit binatang berbisa seperti ular atau kalajengking untuk bersarang.
Membuka lahan di sana meningkatkan risiko keselamatan pekerja. Selain itu tanah di cekungan
bekas sungai kualitas tidak ideal untuk pertanian sehingga hasil panen memang
cenderung gagal.
Kubang Babi (Tempat Mandi Hewan)
Kubang
babi disini dimaksudkan adalah gennagan air untuk mandi hewanbukan hanya babi. Dipercaya bahwa tempat ini ada
hantu penunggu atau "penggadoh babi" bernama Datok Jembelang Tanah. Jika diganggu, hantu
ini akan mengacaukan ladang.
Kubang babi adalah area di mana
babi hutan dan hewan lain berkumpul. Jika tempat ini diganggu, hewan-hewan tersebut akan mencari tempat
lain, termasuk ke ladang yang baru dibuka, yang akan mengakibatkan
kerusakan tanaman secara nyata. Pantangan ini adalah bentuk kearifan untuk
menjaga habitat satwa liar. Dengan tidak mengusik kubang babi, masyarakat
secara tidak langsung menghindari konflik dengan hewan dan mencegah mereka
merusak ladang sebagai respons atas gangguan.
Penumbuk Arus (Tanjung)
Mitos: Penumbuk arus (tanjung)
dipercaya sebagai tempat penunggu hantu tanjung yang bisa mengacaukan. Secara logis bahwa Tanjung,
sebagai daratan yang menjorok ke air dan menjadi "penumbuk arus",
adalah area yang sangat rentan terhadap abrasi dan erosi
akibat hempasan air dan ombak. Membangun lahan pertanian atau mendirikan rumah
di area tanjung tidak baik karena struktur tanahnya tidak stabil dan mudah
longsor. Tanaman akan sulit tumbuh atau rusak, dan bangunan tidak aman.
Mata Air
Mata air dipercaya terdapat
hantu penunggu yaitu Hantu Aik
yang jika diganggu akan mengakibatkan penyakit kembung perut. Secara logika mata
air adalah sumber air yang sangat penting
untuk kebutuhan minum, baik bagi manusia maupun hewan. Merusak atau mencemari
mata air berarti mengganggu akses terhadap air bersih bagi seluruh masyarakat dan
ekosistem alam.
Tabel Pantangan Membuka Lahan (Kearifan Lokal Masyarakat Adat)
|
No. |
Area yang Dipantang Dibuka Lahan |
Mitos/Kepercayaan Lokal |
Penjelasan Logis & Pesan |
|
1. |
Lidah
Tanah
(Cekungan Bekas Sungai) |
Dipercaya sebagai sarang
binatang berbisa. Tanah "sakal" (sial), setiap usaha pertanian di
situ akan gagal. |
1.
Habitat Berbahaya:
Cenderung lembap, disukai binatang berbisa (ular, kalajengking). Meningkatkan
risiko keselamatan. 2. Kualitas Tanah
Buruk: Drainase tidak baik, tidak subur untuk pertanian, mudah gagal
panen. 3. Risiko Banjir: Area rentan
terendam banjir saat hujan/pasang. Pesan
Moral: Menghindari risiko bahaya fisik, kegagalan panen, dan memilih
lokasi yang produktif. |
|
2. |
Kubang
Babi
(Tempat Mandi Hewan) |
Dihuni hantu penunggu atau
"penggadoh babi" bernama Datok Jembelang Tanah. Jika diganggu, hantu
ini akan mengacaukan ladang. |
1.
Gangguan Hama Nyata:
Mengusik kubang babi akan membuat babi hutan dan hewan lain mencari tempat
baru, sering kali merusak ladang pertanian. 2.
Menjaga Habitat Satwa Liar: Mencegah konflik manusia-satwa dan menjaga
keseimbangan ekosistem. Pesan Moral:
Menghormati ruang hidup satwa liar untuk mencegah kerusakan ladang dan
menjaga harmoni alam. |
|
3. |
Penumbuk
Arus
(Tanjung) |
Dipercaya dihuni hantu
tanjung yang bisa mengacaukan. |
1.
Rentan Abrasi/Erosi:
Sebagai daratan menjorok ke air, mudah terkikis oleh arus dan ombak, sehingga
tanah tidak stabil. 2. Tidak Ideal
untuk Pertanian/Rumah: Tanah tidak stabil, rawan longsor. Tanaman
sulit tumbuh, bangunan tidak aman. Pesan
Moral: Memilih lokasi yang aman, stabil secara geografis, dan
menghindari area berisiko tinggi bencana alam. |
|
4. |
Mata
Air |
Dihuni hantu penunggu yaitu
Hantu Aik, yang bisa mengakibatkan penyakit kembung perut. |
1.
Sumber Kebutuhan Vital:
Mata air adalah sumber air bersih penting bagi manusia dan hewan.
Merusak/mencemari akan mengganggu akses air. 2.
Kesehatan Komunitas: Kontaminasi mata air memang dapat menyebabkan
penyakit pencernaan (kembung, diare). Pesan
Moral: Melindungi dan menjaga kebersihan sumber daya air sebagai
kebutuhan vital dan demi kesehatan komunitas. |
Tabel: Komparasi
Regulasi negara dan Adat Pertanian
|
Aspek Regulasi |
Kearifan Lokal/Hukum Adat |
Regulasi Pemerintah KKU
(Perbup LP2B No. 49/2022) |
Dinamika dan Konflik |
|
Pembakaran
Lahan |
Wajib ganti atau denda
adat |
Dilarang keras oleh
UU PPLH/Perkebunan, fokus pada intensifikasi tanpa bakar. |
Konflik
Normatif: Potensi kriminalisasi peladang. Adat mengatur risiko, Hukum Negara
melarang risiko. |
|
Perlindungan
Lahan |
Didasarkan pada
spiritualitas, konservasi, dan menghindari malapetaka. |
Ditujukan pada
LP2B untuk mencegah degradasi, alih fungsi, dan menjamin pangan. |
Sinergi
Tujuan: Terdapat kesamaan tujuan keberlanjutan, namun motivasi dan metode
penegakan berbeda. |
|
Kesejahteraan
Petani |
Dicapai melalui gotong royong, kebersamaan, dan ritual. |
Pemberian
Insentif dan perlindungan hukum bagi petani yang mempertahankan LP2B. |
Harmonisasi:
Negara dapat memanfaatkan struktur gotong royong
untuk penyaluran insentif dan penyuluhan teknis. |
.png)
.png)
.png)
.png)

.png)
.png)
.png)
.png)
.png)
.png)
.png)
.png)
.png)
0 Komentar